Sinopsis K-Drama : The Crowned Clown ( Episode 7 Part 2 )

The Crowned Clown
Episode 7 Part 2

Sumber konten dan gambar : TVN

Baca The Crowned Clown episode sebelumnya


"Temukan kepala sekretaris kerajaan!"

"Ya Yang Mulia." Mo Young memasukkan pedang ke dalam sarung pedangnya lalu beranjak pergi.

Lee Hun bertanya pada Ha Sun. "Jurnal mengatakan kalau ratu pergi berlibur. Apa itu idemu?"

"Ya. Tabib kerajaan bilang itu baik untuk kesehatannya."

"Jika dia kembali, seharusnya dia datang melapor padaku. Sejak badut rendahan mengambil alih tahta, bahkan ratu yang polos kehilangan moralnya."

Lee Hun menoleh pada Kasim Jo lalu berteriak memenrintahnya hingga Kasim Jo tampak sangat ketakutan. "Panggil ratu untuk menemuiku!!"

"Ya. Ya Yang Mulia."

Ha Sun tampak menggeleng pada kasim Jo. Dia menatap kepergian Kasim Jo dengan hati gundah gulana.

***


So Woon sedang membaca buku di kamarnya. Ae Young minta ijin masuk. Dia mengabarkan kalau raja ingin So Woon datang ke kantornya.

"Sepertinya Yang Mulia sudah merindukanmu," goda Ae Young.

So Woon tersenyum. "Siapkan kunjunganku."

***
Lee Kyu masuk ke dalam istana. Mo Young sudah menunggunya bersama anak buahnya.

"Kawal kepala sekretaris kerajaan!"

Dua anak buah Mo Young maju melayangkan pedangnya ke arah Lee Kyu.

"Apa yang kau lakukan?"

Mo Young maju. Terlihat kilatan amarah di matanya. "Ini perintah raja. Raja yang asli," ujar Mo Young penuh penekanan.

Lee Kyu pun di giring menuju ruangan raja. Tampak seorang pejabat mengintai mereka dari tempat persembunyian.

***

So Woon menghadap raja. Dia tersenyum sambil berkata,"Saya datang untuk melaporkan kedatangan saya ke istana dengan selamat."


Lee Hun menatapnya. "Bagaimana perasaanmu?"

So Woon sedikit heran mendengar pertanyaan Lee Kyu. Tapi dia segera menjawabnya tanpa lupa tersenyum. "Jangan khawatir. Berkat doa Anda, semua gejala menghilang seolah tersapu bersih."

So Woon menanyakan kabar Lee Hun.

"Aku.... baik-baik saja."

Terlihat Ha Sun menguping dari balik pintu rahasia.

"Kamu menghabiskan banyak waktu di dalam pasar yang dingin. Aku harap kamu tidak demam." Ha Sun terlihat khawatir mendengar penuturan So Woon. (Aku juga deg degan)

Lee Hun diam saja menatap So Woon penuh kerinduan. So Woon sampai memanggilnya untuk menyadarkannya.

"Aku baik-baik saja," jawab Lee Hun sambil tersenyum tipis. "Kamu baru pulang berlibur untuk memulihkan kesehatannmu. Apa kau baik-baik saja?"

"Tubuh dan pikiranku sangat ringan seolah-olah semua letihku terangkat. Waktu yang aku habiskan bersama adalah obat yang lebih baik daripada liburan dan istirahat."

"Apa yang aku lakukan hingga kamu sangat senang?"

"Berjalan-jalan bersamamu sambil berbincang-bincang. Dan melihat ke arah yang sama Yang Mulia. Sejak aku tinggal di dalam istana, aku tidak pernah senyaman ini."

Lee Hun terus menatap So Woon. Entah apa yang ada dipikirannya mendengar penuturan jujur So Woon soal perasaannya. So Woon sampai khawatir melihatnya.

"Yang Mulia. Apa ada yang salah?"

"Kalau dipikir-pikir, aku sedikit lelah."

So Woon menawarkan memanggilkan tabib istana.

"Tidak usah. Kamu boleh pergi."

So Woon terlihat kecewa. Dia pun undur diri. Ha Sun nampak sangat khawatir. Tubuhnya merosot dengan mata berkaca-kaca.

So Woon menatap ruangan raja. Kasim Jo bertanya ada apa.

"Bukan apa-apa. Jika terjadi sesuatu pada Yang Mulia, cepat kabari aku," ujar So Woon lalu melangkah pergi.

Setelah itu, datanglah Lee Kyu dibawah pengawalan Mo Young.

***

Di dalam, Lee Hun mencabut pedangnya. Dia berjalan memutari Ha Sun yang berdiri di tengah ruangan.


"Ratu banyak berubah selama aku tidak ada. Trik macam apa yang gunakan?"

"Yang Mulia. Ini tidak seperti yang Anda pikirkan."

Lee Hun melotot pada Ha Sun. "Apa maksudmu sebenarnya? Apa yang kalian berdua lakukan?"

Ha Sun berlutut. "Tidak ada yang terjadi Yang Mulia. Tolong percayalah padaku."

"Dia bilang kalian berjalan-jalan. Dia bilang bersamamu lebih baik dari obat apapun. Dia bilang dia bersenang-senang."

Lee Hun berasumsi sendiri kalau mereka membuat rencana bertemu di pasar setelah So Woon pulang dari liburan.

"Tidak Yang Mulia. Bukan itu yang terjadi."

Lee Hun mengacungkan pedangnya ke leher Ha Sun. "Haruskah aku bertanya langsung pada ratu? Kita lihat siapa yang berkata jujur."

Lee Hun lalu tertawa. "Hukuman apa yang harus kuberikan padamu karena melakukan tindakan yang keji? Membunuhmu tidak akan cukup. Aku akan membunuh keluargamu dan semua orang yang mengenalmu akan membayar kesalahanmu.

Tubuh Ha Sun bergetar ketakutan dan matanya berair. Kasim Jo mengumumkan kedatangan Lee Kyu. Begitu masuk, Lee Kyu terkejut melihat apa yang terjadi di depannya.

"Kamu seperti melihat hantu. Kamu pikir aku tidak akan kembali?"

Lee Kyu memberi hormat. "Yang Mulia. Selamat datang kembali."

Lee Hun menyeret pedangnya ke leher Lee Kyu. "Aku menikmati membaca jurnalmu. Kamu mengikatku seperti penjahat dan bersenang-senang bersamanya di sini."

Lee Kyu menjawab dengan tenang.

"Aku tidak bermaksud memperlakukanmu seperti penjahat. Pikiranmu sedang tidak waras. Aku khawatir kamu akan menyakiti dirimu sendiri hingga aku mengambil langkah putus asa seperti itu."

"Jadi kau melakukannya untukku? Apakah aturan pembayaran beras juga untuk kebaikanku?"

"Aturan pembayaran beras adalah sesuatu yang ingin Anda terapkan suatu hari nanti. Bagimu, negeri ini, dan rakyatmu, aku rasa hukum ini pantas untuk jadi pertimbangan."

Lee Hun tertawa. "Kamu punya alasan untuk semuanya. Aturan penting dibuat selama aku tidak ada. Disaat penipu ini ditempatkan di atas tahta. Siapapun akan setuju kalau ini sebuah penghianatan. Katakan tidak seperti itu. Bicaralah."

"Keraguan dan kecurigaan terhadapku sudah tertanam dalam pikiranmu. Mekipun aku menjelaskan semuanya, itu tidak ada gunanya."

Mata Lee Kyu berkaca-kaca. "Jika kau tidak percaya lagi padaku, bun*h aku sekarang juga."

Lee Hun marah. "Katakan apa saja padaku! Teruslah mengoceh! Bujuk aku!"

"Jadi kamu tidak memberontak?"

"Tidak Yang Mulia."

Lee Hun menurunkan pedangnya. "Baiklah. Kamu tidak akan melakukannya. Kamu memberikan hidupmu padaku. Jangan menghianatiku."

Lee Hun ganti mengamuk menyalahkan Ha Sun. Dia menuduh Ha Sun yang merencanakan pemberontakan. Dia memberikan pedangnya pada Lee Kyu dan menyuruhnya membu**h Ha Sun.

"Dia bukan siapa-siapa selain boneka yang kita taruh untuk menggantikanmu. Masih ada orang diluar sana yang mencoba membu**hmu. Tanpa dia, kau tidak akan bisa menangkap mereka."

"Lalu kenapa kamu belum bisa menangkap siapapun?"

"Kita belum punya bukti yang pasti."

Lee Kyu menyarankan membiarkan Ha Sun hidup agar mereka bisa menangkap orang yang ingin melukai Lee Hun.

"Dasar lucu. Kau tidak membuat alasan apapun saat aku mengarahkan pedang ke lehermu. Tapi kau jadi banyak bicara saat hidupnya dalam bahaya."

Lee Kyu menatap Lee Hun. "Tatapan apa itu? Apa tiba-tiba kau ingin membunuhku?"

"Penjagamu menjaga di keempat dinding kediamanmu. Bagaimana aku berani?"

Dan benar saja. Di luar mengerahkan semua anak buahnya mengelilingi kediaman raja.


"Lakukan! Jika kamu tidak bisa maka aku yang akan melakukannya."

Lee Kyu tampak bimbang. Namun akhirny dia maju mengayunkan pedangnya hingga lengan Ha Sun mengeluarkan darah.

"Cukup. Aku tidak ingin darah orang rendahan ini memenuhi lantaiku." (Hih! Dasar raja gelo. Tadinya gue kasihan sama lo. Tapi lo sint**gnya kebangetan, hehe)

Lee Hun memanggil Mo Young. Dia menyuruhnya membawa Ha Sun keluar.

"Jangan kurangi rasa sakitnya dan langsung membun**nya. Ah! Bawa dia ke hutan dan berikan pada harimau. Biarkan dia gemetar kedinginan sampai akhir hidupnya." Lee Hun mengatakannya sambil terus menatap Lee Kyu. Lee Kyu jelas tidak menyangka.

Mo Young menyeret Ha Sun pergi melalui pintu rahasia.

"Haruskah aku mengungkapkannya sekarang? Panggil Shin Ci Soo."

Lee Kyu menatap Lee Hun tak percaya.

***

Yi Gyeom menunjukkan papan nama Lee Kyu pada ayahnya. Dengan senang dia memberitahu kalau ayahnya dipanggil raja. Tapi ternyata Tuan Shin masih kesal atas kejadian tempo hari. Dia tidak mau menemui raja. Dia hanya mengirim surat pada raja meminta maaf karena sakit. (Sakit hati?)

***

Lee Hun kesal karena Tuan Shin berani menolaknya. Tapi dia memilih membiarkannya.


"Huffftt. Aku lelah. Panggil Dayang Kim!"

***

Dayang Kim membantu Lee Hun berganti baju tidur. Dia terkejut saat melihat telinga Lee Hun yang terluka. Dia hendak menyentuhnya tapi Lee Hun mencengeram tangannya.

"Beraninya kau!"

"Maafkan aku yang Mulia."

Lee Hun terus teringat wajah So Woon yang terus tersenyum saat menceritakan kebersamaannya dengan Ha Sun. "Kapan jadwal malamku bersamaku?"

"Bulan kesembilan, yang paling awal Yang Mulia."

"Katakan pada bagian astrologi untuk membuatnya besok!"

***

Kasim Jo mengikuti Lee Kyu. "Petugas Jang akan membawanya ketengah hutan di cuaca yang sangat dingin. Yang Mulia tidak akan bisa bertahan melalui malam ini," ujar kasim Jo khawatir.

"Yang Mulia? Raja asli sudah kembali. Kau akan terlibat masalah jika tidak bisa menjaga lidahmu di hadapan Yang Mulia."

"Baiklah. Aku akan berhati-hati."

***


Mo Young menarik tangan Ha Sun yang sudah di ikat. Dia membawanya ke dalam hutan dengan sebuah obor untuk menerangi jalan. Mereka sampai di depan sebuah lubang besar di tanah.

Bersambung ke The Crowned Clown episode 7 part 3

Read More

Sinopsis K-Drama : The Crowned Clown ( Episode 7 Part 1 )

The Crowned Clown
Episode 7 Part 1

Sumber konten dan gambar : TVN

Pemberitahuan : Mulai episode 7 ini, aku bakal bagi sinopsisnya jadi 3 bagian saja. Gomawo :)


Di The Crowned Clown episode sebelumnya, tokoh utama kita, Ha Sun, Lee Hun, So Woon, dan Dal Rae, semuanya sedang berada di satu lokasi yang sama, yaitu pasar. Apakah mereka benar-benar saling beradu pandang? Check this one out!

Ternyata mereka tidak saling melihat karena tertutup iring-iringan festival yang kebetulan lewat. Ha Sun dan So Woon melanjutkan jalannya. Begitupula dengan Lee Hun. Sementara Dal Rae tidak menyerah. Dia bangkit dan tertatih-tatih mengejar Lee Hun. Mo Young yang sedang mencari Ha Sun dan So Woon sempat memperhatikannya, namun kemudian mengabaikannya.


Lee Hun sampai di dekat gerbang istana. Matanya menyiratkan amarah yang besar. Dia ingat saat dirinya di kunci di sebuah ruangan dengan kedua tangan di ikat. Saat dia berusaha melepaskan diri, seseorang berusaha menggebrak pintu dari luar, Dal Rae. Begitu berhasil, Dal Rae masuk mendekati Lee Hun. Dia memanggil kakaknya tanpa suara. Lalu membantu melepas ikatan Lee Hun. Karena tidak juga berhasil. Lee Hun menyuruhnya mengambil pisau di balik lemari. Akhirnya tali yang mengikat Lee Hun pun terlepas. Dal Rae langsung memeluknya penuh kerinduan. Lee Hun meminta air. Dal Rae pun keluar untuk mengambilnya. Namun saat dia kembali, Lee Hun sudah tidak di sana. Dia hanya menemukan pisau beserta penutupnya.


Saat ini Dal Rae sedang memandangi pisau Lee Hun. Dia memanggil kakaknya dengan sedih. Tiba-tiba terdengar suara Gab Soo memanggilnya. Dal Rae ingin menghampirinya, namun dia segera bersembunyi begitu melihat biksu Jung Saeng. Jung Saeng berkata dia akan ke tempat hiburan untuk minta bantuan. Setelah Jung Saeng pergi, Dal Rae mendekati Gab Soo. Melihatnya, Gab Soo kontan memeluknya.

"Astaga Dal Rae. Kamu kemana saja? Kamu membuatku kena serangan jantung! Ngomong-ngomong, kamu sudah mulai bicara."

"Paman, kakak ada di sini. Kita harus mencarinya."

"Apa yang kamu bicarakan?" Gab Soo mengajak Dal Rae menemui Woon Shim karena biksu juga ke sana.

"Tunggu. Kamu tahu siapa yang selama ini mengurung kakak? Dia adalah biksu itu."

"Omong kosong apa yang kamu katakan?"

"Aku berkata jujur. Aku melihatnya."

"Benarkah?" Gab Soo tampak memikirkan sesuatu.

***

Ha Sun dan So Woon sedang berkeliling di pasar. Sebuah gerobak lewat, hingga Ha Sun harus memeluk So Won dan menyingkir agar mereka tidak tertabrak.

"Kamu tidak apa-apa?"

So Woon tersenyum senang. "Aku baik-baik saja."

So Woon melanjutkan jalannya. Tapi Ha Sun malah berhenti dan menatap orang-orang yang sedang makan di kedai. So Woon langsung paham kalau Ha Sun lapar. Merekapun mampir di kedai itu.

Seorang ahjumma menyajikan makanan di meja. So Woon tampak heran dengan menu makanan di depannya. Dia menyendokkan sesuatu dari mangkok lalu menatapnya.


"Apa ini?"

"Itu jantung babi."

So Woon mengambil sesuatu yang berbeda. "Lalu, apa ini?"

"Itu bagian usus babi. Aku tahu kamu tidak bisa memakannya. Maafkan aku karena tidak memikirkannya," ujar Ha Sun dengan tidak enak hati. Dia berdiri mengajak So Woon pergi. Tapi So Woon malah menyuapkan makanan ke mulut. Ha Sun sampai terkejut.

"Ini kenyal sekali."

"Apa?"

So Woon makan sesuap lagi. "Aku tidak pernah memakan makanan seenak ini seumur hidupku."

Ha Sun tersenyum. "Aku senang kau menyukainya." Ha Sun pun makan dengan lahapnya sampai bunyi slurrrpppp.

"Apa Anda pernah memakan sup ini sebelumnya?"

"Emmmm. Beberapa kali saat aku menyamar keluar istana. Sangat sulit bersikap menyukai sesuatu yang bukan seleramu." Ha Sun menunjukkan raut wajah seolah-olah dia tidak suka supnya. Padahal sih makannya lahap banget. So Woon sampai senyum geli melihatnya.

"Berdua denganmu, entah kenapa membuatku merasa seperti wanita biasa yang tinggal di sini."

"Jika kamu tinggal di sini, rumah mana yang kamu sukai?"


So Woon menunjuk sebuah rumah. Ha Sun heran karena itu rumah terkecil di sekitar sana.

"Itulah sebabnya aku memilihnya. Di dalam rumah yang kecil, kita bisa lebih dekat bersama. Selain itu, itu berada di ujung jalan, sehingga kita harus berjalan cukup jauh untuk mencapainya."

Ha Sun tertegun mendengarnya. Tapi tak pelak itu membuatnya tersenyum.

***

Malam harinya, mereka masih keliling pasar yang masih ramai dihiasi lentera-lentera merah. So Woon bercerita kalau dia suka keliling pasar saat masih kecil. Dia suka menghirup getaran aroma di sana.

"Bau ikan. Bau alkohol. Bau keringat orang-orang."


Ha Sun langsung membaui tubuhnya. "Apa aku juga bau keringat?" HAHA

"Tidak. Kau memiliki bau yang hangat." Lagi-lagi, mereka saling bertatapan sambil tersenyum. (Yang jomblo jangan baper)

Tiba-tiba So Woon tertarik dengan lapak penjual kompas.

"Untuk apa kamu membeli kompas?"

"Aku ingin memberimu hadiah."

"Tidak usah. Aku tidak melakukan apapun untuk bisa mendapatkannya."

"Kamu melakukan banyak hal. Kamu memperhatikanku dan membuatku merasa senang." Cieee

"Selain itu, aku tahu kamu membutuhkannya. Saat itu di istana...."

So Woon keceplosan. Dia dan Ha Sun langsung berpaling ke penjual yang sedang menatap heran mereka. So Woon buru-buru memperbaiki kalimatnya.


"Maksudku, kamu tersesat di dalam rumah."

Ha Sun langsung teringat saat dia tiba-tiba sudah ada di depan kediaman So Woon lalu pura-pura mau ke balai pertemuan tapi tersesat.

Si pedagang tertawa. Masa di rumah saja tersesat. (Belum tahu aja dia kalau rumahnya lebih gede dari bagong hehe)

So Woon mengambil sebuah kompas dengan ukuran kecil dibanding yang lainnya. Kata pedagang itu kompas dengan desain paling halus. So Woon terlihat menyukainya.

"Berapa harganya."

"Bayar saja 3 yang."

Ha Sun maju menghalangi So Woon untuk membayar. "Dengar ya! Kamu pikir kami gampang dibodohi? Berikan 2 yang."

So Woon terlihat heran melihat Ha Sun menawar.

"2 yang 7 jeon," tawar si pedagang.

"2 yang 5 jeon."

"2 yang 6 jeon."

"2 yang 4 jeon. Kalau tidak mau kami tidak akan membelinya." Ha Sun merangkul So Woon pergi.

"Tunggu! Baiklah 2 yang 4 jeon."

So Woon tersenyum geli. Ha Sun menatap kompasnya dengan hati riang (iyalah, dapat hadiah dari gebetan).

"Aku tidak menyangka kamu pandai menawar."

"Emmm. Aku hanya menirukan apa yang orang lain lakukan dan tidak menyangka itu berhasil."

"Tapi kamu tampak sudah berpengalaman."

Ha Sun tertawa gaje. "Hah! Itu tidak mungkin."

Mereka terdiam sejenak.

"Terimakasih. Aku akan selalu membawa kompas ini bersamaku."

"Aku memberimu kompas untuk menunjukkanmu jalan."

"Ah. Waktu itu hanya kesalahan. Biasanya aku sangat pintar menemukan arah."

"Itu akan menunjukkan jalan kepadaku Yang Mulia. Jika suatu hari kau kehilangan arah, dan memilih jalan memutar, datanglah padaku. Aku akan selalu menunggumu di ujung jalan." (So Woon terus yang ngerayu. Ha Sun ga berani karena ngerasa bukan haknya, kasian)

Tiba-tiba Mo Young dan Ae Young datang. Mereka lega akhirnya bisa menemukan raja dan ratu. Merekapun kembali ke istana.

***


Lee Kyu sedang menulis sebuah surat.

Aku menulis surat ini bukan untuk meminta pengampunanmu. Tapi memohon padamu agar tidak melewatkan kesempatan untuk mewujudkan keinginan Tuan Gil.

Tiba-tiba Jung Saeng datang. "Hak San. Dia menghilang."

Lee Kyu sontak terkejut dan reflek ingin berdiri namun rasa nyeri di perutnya memaksanya untuk tetap duduk.

"Apa kamu akan menemui raja?"

Lee Kyu tambah kaget. "Sudah berapa lama kamu mengetahuinya?"

"Aku sudah mencurigainya sejak lama. Aku berpura-pura tidak tahu supaya kamu tidak tidak menghentikanku untuk merawatnya."

Lee Kyu membakar surat yang baru saja dia tulis. Dia berusaha berdiri meski menahan sakit.

"Jika aku tidak kembali sebelum fajar, bawa Woon Shim dan Ho Geol, lalu pergi."

"Jangan pergi ke istana! Raja tidak akan membiarkanmu."

"Apa kamu mau aku melarikan diri lagi?"

"Yang kamu lakukan sebelumnya karena Tuan Gil memerintahkanmu untuk menyelamatkan anggota lain."

"Seorang pria mempercayaiku. Hidupnya berada di tanganku. Jika aku tidak pergi ke istana, raja akan membunuhnya. Aku tidak bisa membiarkannya."

***

Seperti biasa, Ha Sun pulang ke istana melewati pintu rahasia. Dia terkejut karena Kasim Jo ada di depannya saat dia membuka pintu.


"Kenapa wajahmu tegang? Apa karena aku terlambat? Maafkan aku."

Ha Sun masuk. Dia tertegun melihst Lee Hun sedang membaca sebuah dokumen di depannya.

Lee Hun melempar dokumen 'jurnal sekretaris kerajaan : yang meliputi dan kasus. "Kabarmu baik-baik saja badut rendahan?"

Ha Sun yang masih shock tidak merespon. Lee Hun berdiri menghampirinya. "Apa kamu sudah lupa bagaimana caranya bersikap?"

Ha Sun langsung sujud di hadapan Lee Hun. Lee Hun yang sudah lama memendam amarahnya, menendang Ha Sun berkali-kali. Kasim Jo tidak tega dan berusaha mengingatkan Lee Hun. Tapi Lee Hun membentaknya menyuruhnya menyingkir.

Di luar, tampak Mo Young menuju ke sana. Dia panik saat mendengar suara ribut dan orang yang mengaduh kesakitan.

"Yang Mulia apa kau baik-baik saja?" Mo Young bergegas membuka pintu dan terkejut melihat apa yang terjadi. Apalagi saat Lee Hun memalingkan wajah menghadapnya.


"Apa badut rendahan sudah menjadi rajamu?"

Lee Kyu mencabut pedang Mo Young lalu mengarahkannya ke Mo Young. Ha Sun merangkak memegangi kakinya.

"Yang Mulia. Petugas Jang tidak tahu apapun."

Lee Hun kembali menendangnya. Mo Young kaget melihatnya.

"Apa kamu masih belum menyadari siapa rajanya? Baiklah, aku akan membunuhmu agar kamu bisa menyadari semuanya."

Lee Hun mengayunkan pedangnya. Ha Sun langsung berdiri menamengi Mo Young. "Yang Mulia. Petugas Jang tidak bersalah. Jika ada, akulah orang yang menipunya."

Ha Sun mengusap-usapkan kedua telapak tangannya memohonbampun untuk Mo Young. "Tolong lepaskan dia."

Mo Young sepertinya tersentuh. Dia berlutut. "Yang Mulia. Karena tidak bisa mengenalimu, aku pantas membayarnya dengan nyawaku. Silahkan bunuh saya."

Lee Hun menatap Mo Young dan Ha Sun bergantian. Dia lalu melempar pedangnya ke lantai.

"Tangkap kepala sekretaris kerajaan!"

"Ya, Yang Mulia."

Bersambung ke The Crowned Clown episode 7 part 2


Read More

Sinopsis K-Drama : Fates and Furies ( Episode 11 )

Fates and Furies
Episode 11

Sumber konten dan gambar : SBS


Baca Fates and Furies episode 10 di sini.

Di episode sebelumnya, Hee Ra memberitahu In Joon dan Soo Hyun kalau dia dan Tae Oh sebenarnya pacaran. Jelas In Joon kaget, apalagi Soo Hyun, matanya langsung membola.

Tae Oh melepaskan rangkulannya di pundak Hee Ra. Soo Hyun terus menatap tajam padanya."Dia pasti membuat kalian bingung. Aku bekerja di Centan, jadi aku memintanya bekerja di perusahaan lain. Dan dia berkeras ingin bekerja di sini. Dia bilang dia suka dengan Gold Shoes."

Tentang kesalahpahaman kalau Hee Ra bekerja dengan niat tersembunyi, Tae Oh mengatakan kalau itu tidak benar. Semua keputusan yang diambil Centan dan Gold Shoes tidak ada kaitannya dengan emosi pribadi. Tae Oh meminta jika ada kesalahpahaman, maka sebaiknya selesaikan hari ini. Dia mengaku ini salahnya, jadi dia berharap ini memengaruhi Hee Ra di tempat kerja.

In Joon angkat bicara. Dia melihat Hee Ra sekilas. "Aku tidak menyangka. Aku mengerti maksudmu."

Tae Oh mengucapkan terimakasih lalu pamit pergi karena kesalahpahaman sudah terselesaikan. Hee Ra mengikutinya. In Joon menghentikan langkah mereka kalau dia akan mengadakan pesta pertunangan. Jadi dia meminta Tae Oh dan Hee Ra datang.

"Itu adalah kesempatan yang hanya dimiliki keluarga dan karyawan. Aku tidak yakin ada tempat untuk kalian," ujar Soo Hyun sinis.

In Joon mengingatkannya kalau Hee Ra juga karyawan. Dan dia boleh membawa pasangan. Kontan Soo Hyun tampak kesal. Dia memberikan tatapan tajam pada Tae Oh.

"Karena kalian mengundang kami, tentu kami akan datang."

"Oh ya. Selamat untuk pernikahan kalian," ucap Hee Ra sebelum pergi.


Di mobil, Tae Oh mengirim pesan pada Hee Ra agar Hee Ra melakukan pekerjaannya dengan benar kali ini. Tiba-tiba Soo Hyun masuk. Dia menarik nafas kesal.

"Kalian pacaran? Sayang?" Soo Hyun tertawa. "Kamu tidak pernah mengatakan hal itu."

"Orang berubah seiring bertambahnya usia."

Soo Hyun menatap Tae Oh. "Apa yang kamu dapatkan dengan melakukan ini? Aku tidak akan kembali padamu. Aku tidak peduli apa yang kamu dan wanita itu lakukan. Ini sudah keterlaluan. Jangan berani melangkah lagi. Atau aku akan membunuh kalian berdua," ujar Soo Hyun memberi peringatan.

Tae Oh tersenyum. "Kamu menakutkan."

"Ingatkan pacarmu untuk berhati-hati juga." Soo Hyun lalu turun dari mobil Tae Oh. Tae Oh langsung mengganti senyumnya dengan wajah gusar.

Hee Ra membaca pesan dari Tae Oh di depan lift. Begitu lift terbuka, ada Soo Hyun disana. Hee Ra bertanya apa Soo Hyun tidak hendak turun.

"Oh. Aku baru ingat meninggalkan sesuatu di bawah." Melihat Hee Ra yang masih diam saja, Soo Hyun memintanya masuk. Hee Ra masuk dan berdiri di samping Soo Hyun sambil melipat tangannya di dada.

Soo Hyun menyindirnya yang tidak mampu membuat In Joon tersentuh meski sudah melakukan segala cara, dan sekarang mengincar Tae Oh.

"Seleramu rendah sekarang. Kau meninggalkan putra pemilik perusahaan demi seorang direktur biasa. Aku tidak peduli apa yang kau lakukan dengan Jin Tae Oh. Tapi jangan sampai aku menangkap kalian. Jika aku mengambil tindakan. Tamat riwayatmu!"

Hee Ra hanya diam saja. Begitu lift terbuka, Soo Hyun langsung meninggalkannya.


Hee Ra masuk ke kamarnya. Dia duduk di depan meja lalu menyalakan lampu tidur. Dia menatap wajahnya di cermin dan mengingat saat Tae Oh mengancamnya menggunakan nyawa kakaknya. Hee Ra menghela nafas berat.

Sun Young masuk dengan membawa senampan minyak pijat. Dia meminta Hee Ra berbaring karena dia akan memijatnya. Awalnya Hee Ra menolak, tapi Sun Young memaksanya karena tahu Hee Ra pasti lelah mengurus pekerjaan sekaligus kakaknya.

Hee Ra memuji pijatan Sun Young yang luar biasa. Sun Young membanggakan diri kalau pelanggannya para selebritis, istri anggota majelis, dan istri orang-orang kaya. Tiba-tiba dia teringat apa yang di ucapkan Nyonya Han tentang Soo Hyun yang katanya orang kaya baru tapi berani pamer dan menikahkan anaknya dengan putra pemilik perusahaan besar. Katanya Soo Hyun penipu ulung yang suka merayu banyak pria. Orangtuanya tidak bisa membesarkannya makanya dia dikirim keluar negeri.Dia menceritakan semuanya pada Hee Ra.

Hee Ra bergegas duduk. Dia meminta Sun Young mencaritahu lebih banyak lagi. Meski heran, tapi Sun Young mengiyakannya. Hee Ra juga bertanya siapa yang membayar tagihan ICU kakaknya. Sayangnya Sun Young tidak tahu karena saat itu dia panik. Hee Ra bertanya lagi siapa saja yang tahu tentang kecelakaan kakaknya selain mereka dan Ui Gun, karena saat itu terjadi Hee Ra masih di Italia. Sun Young menjawab ada satu orang lagi.

Terlihat si rentenir Chang Soo sedang makan daging bungkus selada dengan lahapnya bersama seorang rekannya di kedai nenek yang berhutang padanya. Ponselnya berdering. Dari Hee Ra. Chang Soo basa basi menanyakan kabar Hee Ra di Seoul.

"Ada seseorang yang membocorkan informasi tentangku."

Chang So sedikit gugup. "Siapa orangnya? Aku ingin tahu."

"Jangan banyak bicara. Datanglah ke Seoul!"

Chang So mengatakan kalau tidak ada yang menjaga anaknya. Hee Ra menawarinya uang, dan sepertinya Chang So bersedia.


In Joon termenung di depan jendela menatap hujan di luar. Dia mengingat pengakuan Hee Ra tadi siang. Ternyata di sana ada Tuan Byun. Dia memberitahu kalau dia dipanggil semua pemegang saham. In Joon tidak menanggapinya. Tuan Byun ganti topik.

"Aku sudah mencari tahu tentang wanita itu. Jin Tae Oh memberinya 50 ribu dollar. Kakaknya koma dan Jin Tae Oh membawanya ke rumah sakit. Aku ingin tahu apa hubungan mereka."

"Mereka berpacaran. Jangan membicarakan wanita itu lagi," kata In Joon. Dia lalu pamit keluar ingin mencari udara segar. Tuan Byun hanya bisa memandangnya khawatir.

In Joon masuk ke ruangan timnya. Dia menatap bangku Hee Ra sejenak, lalu masuk ke ruangan kerjanya. Dia duduk bersandar sambil menghela nafas. Jelas dia sedang memikirkan Hee Ra. Mencoba mengenyahkan pikirannya tentang Hee Ra, In Joon memilih memeriksa sebuah dokumen.

Hee Ra berjalan di bawah hujan dengan payung merah menaunginya. Dia berhenti di depan gedung Gold Shoes lalu melihat ke atas. Dia memantapkan hatinya, lalu berjalan masuk ke dalam.

Hee Ra berpapasan dengan In Joon yang membawa dokumen entah mau kemana.

"Ini hari sabtu," ujar In Joon.

"Bagaimana dengan Anda?"

"Aku ingin menyelesaikan pekerjaan."

"Begitu juga denganku."

Hee Ra menunduk memberi hormat lalu berjalan menuju ruangannya. Dia berhenti saat In Joon berbicara.

"Aku tidak tahu tentang hubunganmu dengan Tae Oh. Jika aku membuatmu merasa tidak nyaman dan...."

Hee Ra memotong ucapannya. "Tidak ada hal seperti itu." Hee Ra langsung pergi. Lagi-lagi In Joon menghela nafas.


Hee Ra sedang mendesain sebuah sepatu. Dia melihat ke arah In Joon di ruangannya. Lalu segera mengalihkan pandangannya.

In Joon masih berkutat dengan dokumennya. Dia melihat ke arah Hee Ra. Kebetulan Hee Ra kembali menoleh ke arahnya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat.


Soo Hyun sedang melakukan fitting baju pengantin. In Joon menungguinya sambil melamun di kursi. Soo Hyun menghampirinya. "Bagaimana?"

"Wow. Kamu cantik," ujar In Joon tanpa ekspresi. Wajah Soo Hyun terlihat kesal.

Selesai fitting baju, Soo Hyun mengajak memeriksa tempat lain sebelum makan malam. Dia heran saat In Joon langsung menyetujuinya.

Ponsel In Joon berdering. Seseorang memberitahunya bahwa dia sudah mendapatkan daftarnya. In Joon berkata akan memeriksanya besok.

Soo Hyun menyuruh In Joon pergi saja. "Aku menikah denganmu untuk membuatmu sukses. Jadi aku tidak ingin jadi penghalangmu. Aku akan mengurus sisanya."

"Bisakah aku minta tolong padamu? Ayahmu,,, Tidak. Aku ingin bertemu ayah mertua."

"Ayahku adalah mertuamu sekarang. Jika kau ingin bertemu dengannya, kau bisa langsung menghubunginya. Aku pergi."

In Joon makan malam dengan Tuan Cha.

"Kau membuat permintaan yang sulit. Apa maksudmu Gonjiam tidak cukup membuatmu menikahi Soo Hyun?"

"Bukan begitu."

Tuan Cha meneguk tehnya. "Ini bukan keputusan yang mudah. Aku biasanya tidak mau mengambil resiko seperti ini. Tapi Soo Hyun memintaku untuk menuruti semua keinginanmu. Kalau tidak, dia tidak akan mau bertemu denganku dan ibunya lagi. Jadi aku setuju. Kau bisa lakukan apa yang kau mau."

In Joon tampak tertegun. Lalu dia menunduk tanda berterimakasih.


Esok harinya, tampak In Joon berjalan memasuki gedung Gold Group diiringi beberapa staffnya. Dia masuk ke ruang rapat dimana disana sudah menunggu para eksekutif perusahaan. Sebagian berdiri menyambutnya. Sepertinya mereka orang-orang yang ada di pihaknya. Sebagian lagi tetap duduk. Mereka pendukung Jung Ho.

Tuan Byun membuka rapat tentang ekspansi produk Gold Shoes. In Joon memotongnya. Dia bilang ada yang perlu mereka bahas lebih dulu. Sekretaris Kim menyerahkan sebuah dokumen padanya. Itu adalah laporan korupsi eksekutif Gold Shoes.

In Joon menyebut nama seorang eksekutif yang duduk di deretan bangku Jung Ho. Dia menyebut kesalahannya lalu to the point memecatnya. Jelas Jung Ho dan Tuan Tae kaget. In Joon menyebut nama kedua. Dia juga memecat orang itu. Tuan Tae menggebrak meja. Dia bertanya apa yang In Joon lakukan.

"Aku menggunakan hak pilihku. Aku memiliki 3,6 dan 1,5 saham. Belum lagi Tuan Cha akan mentransfer beberapa sahamnya. Itu membuatku memiliki hak di Gold Group."

Jung Ho gusar mendengarnya. Reflek dia ikut-ikutan menggebrak meja bahkan berdiri dan menatap In Joon kesal. Tapi dia tidak berkata apapun. Hanya memandang ayahnya sejenak lalu duduk lagi.

"Aku mencoba mencapai puncak dengan bantuan Tuan Cha. Itu yang selalu ayah katakan padaku."

"Kau...."

"Ayah berada di kursi itu karena kebaikanku."

"Tutup mulutmu!"

"Jika ayah bicara lagi, ayah harus keluar juga."

Tuan Tae kehilangan kata-kata. Jung Ho menatap In Joon penuh dendam. Sedang Tuan Byun tampak tersenyum tipis.

Bersambung ke Fates and Furies episode 12


Read More

Sinopsis Thai-Drama : Buang Hong (Episode 1 Part 2)

Buang Hong
(A Lasso of A Swan)
Episode 1 Part 2

Sumber konten dan gambar : Channel 3


Buang Hong episode 1 part 1




Ramet mengujungi pemukiman yang terbakar. Terlihat warga sedang membersihkan puing-puing rumah mereka yang terbakar.

"Beruntung warga lokal berhasil menyelamatkan diri. Tapi mereka kehilangan semua yang mereka miliki," ujar sekretarisnya.

Ramet mendekati seorang nenek dan anaknya. "Nek, dalam beberapa hari, saya akan mengirim orang untuk membantu membangun rumah baru untuk kalian. Jika membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk bilang padaku."

Nenek berterimakasih atas kebaikan Ramet. Ramet mengatakan kalau mereka sama-sama warga lokal, jadi harus saling menolong. Anak nenek merasa menyesal karena seharusnya dia menjual tanahnya lebih cepat pada Ramet. Jadi mereka tidak perlu kehilangan harta mereka seperti ini.

"Apa kamu masih menginginkan tanah kami?" 

"Jangan khawatirkan soal itu dulu. Kita bisa membahasnya nanti-nanti kalau keadaan kalian sudah membaik."

Di kantornya, Kitichai sedang bicara dengan seorang bernama Mr. Andy di telepon. Dia tidak menyangka warga lokal akan mendapat bantuan dari Ramet alih-alih menjual tanah mereka pada kita.

"Aku akan mencari jalan keluarnya. Kau pasti akan dapat membangun kerajaanmu." Kitichai mengakhiri percakapannya. Dia tampak berpikir.

Ramet dan sekretarisnya berjalan menuju mobil. 

"Sejujurnya, saya tidak setuju dengan proyek ini. Orang-orang berpikir Anda hanyalah investor yang membeli tanah warga lokal."

"Aku tidak peduli. Aku tahu betul apa yang aku lakukan."

"Aku tahu Anda hanya ingin menyelamatkan hutan dan tanah dari investor asing. Tapi Anda telah menempatkan diri dalam bahaya. Kitichai sudah semakin dekat. Dia pasti akan melakukan seseuatu."

"Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan."

Ramet sudah kembali ke hotel. Sekretarisnya mengabarkan kalau para reporter sudah datang. Ramet tersenyum penuh misteri.



Sementara di tempat lain, Pim baru turun dari mobilnya. Ponselnya berdering. Dia masuk ke suatu tempat diikuti dua orang yang membawa pakaian di belakangnya. Sesampainya di depan seorang wanita dan seorang nenek, Pim langsung marah-marah karena mereka meneleponnya 20-30 kali. Pim sudah bilang kalau dia punya pekerjaan lain pagi ini. Dia minta ini dibatalkan, tapi mereka yang tidak mau.

"Tolong hargai aku!"

Wanita yang lebih muda kelihatan tidak enak pada Pim. Sedangkan yang lebih tua alias nenek-nenek tampak sinis melihat tingkah Pim.

Di depan wartawan, Ramet mengatakan kalau baginya menjadi tepat waktu itu penting. Sedangkan Pim di tempatnya berkata dia hanya terlambat 45 menit. Seolah menyahut, menurut Ramet itu hanya alasan untuk orang malas. Di hotelnya, Chiang Rai Jaravee, mereka mengedepankan sikap sehingga selalu bisa selangkah lebih maju. Telat satu menit saja, hanya memberikan peluang untuk kompetitor mengungguli kita.

Lagi-lagi ucapan Pim dan Ramet seolah sambung-menyambung (menjadi satu itulah Indonesia, hehe)

"Kan cuma 45 menit. Tidak menyebabkan banyak kerugian."

Pim melenggang pergi. Si nenek langsung buka suara. Dan suaranya ternyata ngebass alias cowok (HAHA). 

"Kamu emang ga rugi. Tapi aku yang kehilangan hidupku."

Eh, si Pim balik. "Kehilangan apa?"

Si nenek cuma bisa mesem lebar.

"Oh ya. Aku minta wangi lilin dan air musim semi favoriku. Dan AC'y harus 24 derajat."



Pim masuk ke ruangan pemotretan. Dia menghirup udara dalam.

"Hmmmm. ACnya sangat nyaman." Dia menatap minuman dan makanan di meja dengan senyuman.

Ramet berkeliling menunjukkan hotelnya sambil di rekam oleh seorang juru kamera. Dia bilang, keinginan pelanggan tidak peduli besar atau kecil, mereka akan melayani dengan senang hati.

Pim menarik nafas mencium aroma di ruangan itu. Awalnya dia tersenyum. Tapi dia menyadari kalau itu bukan wangi yang dia pesan. Marah-marah lagi deh dia. Wanita yang baju ungu bilang kalau wangi yang di pesan Pim habis. "Tapi itu masih satu merek kok."

Pim tidak mau tahu. Dia mau wanginya diganti. Kalau tidak, seperti biasa, dia tidak mau bekerja. Para model dan kru yang ada di sana hanya bisa menatapnya tidak habis pikir. Bahkan salah satu kru berkacamata, mengeluh pada si nenek, yang namanya ternyata P'Gina. Dia tidak mau bekerja kalau ada Pim lagi. Begitupun wanita berbaju ungu.

Pim yang baru selesai ganti baju datang. Dia mendengar keluhan mereka. P'Gina mendekatinya.

"Bagaimana? Semuanya OK? Senang? Puas? Kamu terkesan sekarang?"

"Belum."

Pim menatap si kacamata dan baju ungu. "Orang yang ngomongin orang lain di belakangnya. Kalau mereka nggak tulus, tolong singkirkan mereka lain kali. Aku nggak suka. Bikin bad mood."



Selesai berkeliling, giliran sesi tanya jawab. Salah seorang wartawan menanyakan kabar kalau Ramet membeli tanah penduduk lokal untuk memperluas hotelnya. Penduduk lokal katanya tidak senang dan menolak menjual tanahnya. Jadi para investor melakukan pembakaran untuk mengusir mereka.

Ramet dan sekretrisnya saling bertukar pandang. Kemudian mereka tersenyum. Ramet menjawab bahwa dia menyerahkan penyelidikan soal pembakaran rumah pada polisi. Dia yakin kebenaran akan segera terungkap. Dia juga meyakinkan wartawan kalau dia sudah mematuhi hukum saat membeli tanah warga lokal.

"Soal apakah tanah itu untuk memperluas hotel, aku akan mengatakan pada kalian saat waktunya tepat. Itu akan jadi kejutan." Ramet tersenyum penuh arti.

Selesai wawancara, Ramet dan sekretarisnya pulang ke rumah.

"Anda sudah mengumumkan perang melalui media. Mereka tidak akan berani melakukan hal lain."

"Aku harap juga begitu."


Pim melakukan pemotretan. Dia tampak anggun dan profesional. Sampai-sampai P'Gina memuji bakatnya terlepas dari sikap jahatnya. Belum lagi majalah mereka selalu terjual habis setiap Pim ada di sampul halaman. Akan lebih baik lagi kalau Pim tidak banyak menuntut.

Pemotretan selesai. Pim berniat pergi, tapi P'Gina buru-buru memanggilnya. Dia bilang masih ada beberapa sesi lagi. Pim bisa ganti baju dan melanjutkan pemotretan.

Pim menolak karena selama briefing P'Gina hanya menyebutkan 6 gaun. Dan sekarang sudah 6 gaun.

"Kamu bercanda ya? Kamu pasti lelah. Kamu bisa istirahat dulu kalau begitu."

"Bukan cuma istirahat. Aku akan pergi. Apa itu jelas?"

"Tapi kita belum selesai."

"Aku yakin kamu bisa pakai semua foto dari 6 set tadi. Bahkan lebih."

Pim melenggang pergi. P'Gina dan si baju ungu mengejarnya.

"Tunggu Nong Pim. Kamu tidak bisa pergi seperti ini. Kamu tadi datang telat, kenapa pulangnya cepat?"

Pim gusar. "Aku kan udah bilang, aku ada pemotretan iklan setelah ini. Sorenya ada fashion show. Lagian aku juga udah kasih waktu extra."

P'Gina tidak kalah gusarnya. "Kalau kamu sebegitu sibuknya. Harusnya kamu mempekerjakan seorang manager. Jadi kamu tidak terlalu lelah dan pergi meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.

Pim kesal. Tiba-tiba datang seorang pria dengan sebuket bunga di tangannya.

"Dia tidak perlu mempekerjakan manager."

Pim terkejut. Dia tampak senang melihat siapa yang datang. "Paul!" Pim menerima buket bunganya dengan riang.

"Mulai sekarang, aku akan menjagamu secara pribadi maupun profesional," ujar Paul.

"Hmmm? Kamu yakin? Kamu sendiri kan udah sibuk. Belum lagi kegiatan amal ibumu."

"Nggak masalah. Sesibuk apapun, aku akan memberikan waktuku untuk tunanganku."

Pim senang. P'Gina dan si baju ungu cuma bisa jadi nyamuk. Paul mengajak Pim pergi.

P'Gina kesal banget. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memakai Pim lagi. Mereka akhirnya bergosip soal Pim dan mantan ibu tirinya. Si baju ungu bilang harusnya Pim bisa mencontoh kepribadian baik Khun Vi. Kan mereka pernah tinggal seatap.

"Gimana bisa? Kan khun Vi dan Khun Tai kan menikah kurang dari 3 tahun."

"Beneran?"

"Mungkin Khun Vi nggak tahan sama sikap jahat anak tirinya. Hanya beberapa jam bersamanya saja, aku hampir gila."


Khun Vi sedang menggelar fashion show baju-baju rancangannya. Para tamu bertepuk tangan saat Khun Vi naik ke panggung dengan sebuket bunga sebagai ucapan selamat.

Para wartawan mewawancarainya. Tak ketinggalan kedua asisten setianya turut mendampingi di sampingnya.

"Martha Fashion, kami memamerkan konsep yang ada. Mengurangi kesek*ian dan menambah gaya lebih kuat. Mempresentasikan perempuan modern yang memiliki kelembutan juga kekuatan.

Salah seorang wartawan bertanya soal gossip bertengkaran Khun Vi dan Pim 2 minggu lalu. Khun Vi menarik nafas sok sedih. Dia membenarkan adanya adu argumen. Tapi itu karena mereka berdua ingin hasil yang sempurna.

"Kami sudah menyelesaikannya. Dan berakhir dengan baik."

"Apa kamu mau bekerja dengan Pim lagi? Katanya Pim tidak mau fashion show denganmu lagi. Sayang sekali, Pim kan sedang sangat terkenal sekarang."

Khun Vi tampak tidak suka mendengar pujian untuk Pim. Tapi dia tetap pura-pura baik.

"Aku bekerja dengan semua orang. Kita harus bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Dan untuk Pim. Kalian harus tanya sendiri padanya. Apa dia mau menciptakxn masalzh dengannya?"

Hasil wawancara secepat kilat nangkring di berita online. Pim yang sedang bersama Paul jelas kesal dan mengadu kalau matador menyebutnya pembuat masalah. Dia menunjukkan ponselnya pada Paul.

"Tenang Pim. Tidak perlu memperhatikan berita gila ini. Lihat nih job baru kamu."

Paul menyodorkan tabletnya. Pim terkejut melihat banyaknya job yang Paul terima.

"Paul! Apa kamu gila? Aku ini bukan mesin."

Paul mencoba membujuk Pim. "Pim. Kamu sangat terkenal sekarang. Setiap orang ingin bekerja denganmu. Kalau kamu capek, ayo kita belanja buat menghilangkan stress."

Cewek mana yang bakal menolak diajak belanja. Mereka pergi ke sebuah mall. Terlihat Pim memilih beberapa dompet mewah. Merasa kurang puas, Pim mengajak Paul ke toko lain. Paul terlihat kurang nyaman.


Pim sedang melakukan pemotretan. Paul duduk selonjoran di sofa sambil main handphone dan sesekali memperhatikan Pim.

Mereka pergi shopping lagi. Paul terlihat bicara dengan seseorang di ponsel di luar sementara Pim memilih-milih tas branded.

"Bro! Keberuntungan belum memihakku sekarang. Aku kalah judi. Ayolah! Aku akan membayar bunga beserta uang pokoknya dalam dua hari."

Paul menutup sambungan teleponnya. Dia tampak frustasi lalu masuk ke dalam toko.

"Pim, apa kamu mau membelinya lagi? Kamu kan udah punya beberapa tas dengan tipe, ukuran, dan warna yang sama."

"Itu cuma mirip. Ini nggak sama kok."

Paul tersenyum. "Waktu kamu bilang miril, emangnya kamu ingat mirip yang mana?"

Pim tampak berpikir. Dia menjawab malu-malu. "Enggak. Aku nggak ingat. Ayolah jangan terlalu serius. Beli barang bagus itu nggak bikin sakit. Lagian aku bayar pakai uang hasil kerja kerasku sendiri. Jadi aku membeli kesenanganku. Dan lagi, aku hanya perlu kerja sedikit untuk dapat tas ini (enak banget ya). Bahkan kalau aku nggak kerja, aku bisa minta sama ayahku. Dan kalau kita menikah, aku bisa minta sama kamu. Benarkan?"

Paul terpaksa tersenyum. Dia tampak memikirkan sesuatu.


Selesai belanja, mereka pulang ke rumah Pim yang besar dan mewah. Pim pamit mau mandi dulu. Dia naik ke kamarnya di lantai atas.

Paul duduk di kursi sambik mengedarkan pandangannya. Sepertinya terbesit suatu ide di kepalanya. Diam-diam dia naik ke lantai atas. Dia memastikan Pim sedang mandi. Lalu dia masuk ke ruangan tempat Pim menyimpan koleksi tasnya. Dia melihat-lihat lalu mengambil dua dompet hitam di etalase. Dia pergi membawa dua benda itu.

Bersambung ke Buang Hong episode 1 part 3



Read More

Sinopsis K-Drama : Romance is a bonus book (Episode 1 Part 1)

Romance is A Bonus Book
Episode 1 Part 1

Sumber konten dan gambar : TVN



Sebuah mobil hitam melaju di jalanan. Pengemudinya seorang pria berjas hitam rapi dan tampan, Cha Eun Ho (Lee Jong Suk). Dia menepi di dekat sebuah rumah yang terlihat ramai dan penuh hiasan bunga. Sepertinya akan diadakan sebuah pernikahan di sana. Dia dia mematut penampilannya melalui kaca spion sebelum turun dari mobil.

Eun Ho mengedarkan pandangannya. Matanya tertumbuk pada foto seorang wanita yang di atas meja. Dia tersenyum melihatnya. Lalu dia menatap ke atas balkon yang dihiasi bunga-bunga cantik. Dia berjalan masuk ke dalam rumah, menaiki tangga kayu, dan berhenti di depan sebuah ruangan.

Eun Ho membuka tirai. Di dalam sana, terlihat seorang wanita cantik mengenakan gaun pengantin putih. Dialah Kang Dan Yi. Dan Yi tersenyum menyapa Eun Ho yang masih berdiri di pintu. Eun Ho membalas senyumnya.

Tiba-tiba datang beberapa teman Dan Yi. Mereka mendekati Dan Yi dan heboh memuji Dan Yi yang tampak sangat cantik dan menawan. Tak mau ketinggalan, Eun Ho juga berkata hal yang sama dengan suara lirih.

"Kau cantik."

"Apa?"

"Lupakan kalau kamu tidak dengar."

Eun Ho berjalan turun dan duduk di depan piano. Dia menatap balkon sekali lagi. Entah kenapa, wajahnya tampak tidak bahagia.

Pembawa acara mengumumkan pernikahan Kang Dong Min dan Kang Dan Yi. Dia memanggil sang pengantin pria.


Suasana pesta langsung riuh oleh tepuk tangan dan tawa saat Dong Min datang. Dengan setelan rapi dia berjalan sambil berjoget bahkan mengajak seorang nenek menari. Musik dan beberapa penari mengiringi tariannya di atas panggung kecil.

Saat pengantin wanita masuk. Eun Ho memainkan piano diiringi tiga pemain biola. Tiba-tiba seorang wanita datang membisiki sang pembawa acara. Dong Min bertanya ada apa.

"Dan Yi menghilang."

Sontak Dong Min terkejut dan langsung berlari ke kamar Dan Yi. Eun Ho mengejarnya.

"Hyung, apa kamu tahu kemana Dan Yi pergi?"

"Gimana aku tahu?"

"Apa kalian bertengkar? Pasti ada alasannya kan?"

Dong Min menjawab dengan nada frustasi. "Kami bertengkar setiap waktu. Begini, kami bertengkar seminggu yang lalu. Kenapa jadi begini."

Eun Ho pergi meninggalkan Dong Min. Di bawah, dia malah dihadang dua gadis remaja.

"Kau penulis Cha Eun Ho kan, yang menulis buku seri The Bloody Contract?"

"Maaf, kalian salah orang."

Eun Ho masuk ke mobilnya. Ke dua remaja itu mengejarnya. Eun Ho berusaha menghubungi ponsel Dan Yi, namun tidak diangkat. Tiba-tiba dia mendengar suara Dan Yi memanggilnya. Eun Ho pikir itu suara dari ponsel.

"Dan Yi kamu dimana?"

"Aku di belakangmu."

Mata Eun Ho membola melihat Dan Yi ternyata duduk di bangku belakang mobilnya. Dan Yi mengingatkan lampu merah di depan. Eun Ho langsung berhenti dan menepikan mobilnya.

"Noona. Kenapa kamu masuk mobilku setelah membuat kekacauan?"

"Aku tahu. Aku pasti sudah kehilangan akal."

Eun Ho kesal. "Apa kamu sedang bercanda sekarang?"

Ponsel Eun Ho berdering. By the way ponselnya jadul. Entah tahun berapa saat itu.

Dan Yi melarang Eun Ho mengangkatnya. Tapi Eun Ho menolak. Mereka rebutan ponsel hingga ponselnya terjatuh. Terdengar suara Dong Min. Eun Ho memberi isyarat pada Dan Yi untuk diam. Tapi Dong Min berkata kalau dia tahu Dan Yi sedang bersama Eun Ho. Ternyata saat Dan Yi masuk ke mobil Eun Ho, itu terekam oleh cctv.

Dong Min bertanya kalau apa yang dia pikirkan tentang Eun Ho dan Dan Yi tidak benar.

Eun Ho panik. "Tidak. Tidak akan pernah. Ayolah katakan padanya."

Dan Yi menjawab dengan lirih. "Dia berkata omong kosong."

"Tu kan, kamu dengar sendiri."

Dong Min meminta Eun Ho membawa Dan Yi untuk pulang. Dia mengaku kalau dia salah dan pengecut. Dia juga bilang ibu Dan Yi sangat terkejut hingga pingsan. Eun Ho memandang Dan Yi yang berkaca-kaca. Dia meminta Dong Min menunggu 10 menit karena dia akan membawa Dan Yi kembali.


Dan Yi dan Eun Ho duduk di trotoar depan supermarket. Eun Ho membelikannya minuman.

"Noona, kenapa kamu melakukan ini?"

"Aku hanya gugup."

"Kamu tidak harus kembali jika itu yang kamu mau. Apa ada tempat lain yang ingin kamu tuju?"

"Aku tidak punya tempat lain." Dan Yi menghapus airmatanya.

"Apa kita ke bandara saja? Kamu bisa mengambil penerbangan yang tersedia. Kemanapun tujuannya, kamu bisa tinggal di sana selama beberapa bulan."

Dan Yi tidak bisa menahan tangisnya. "Kami berencana pergi bulan madu ke Spanyol. Ibu menyarankan ke pulau Jeju saja karena kami tidak punya uang. Tapi tetap bersikeras. Semua furniture dan tempat kita di beli dengan pinjaman. Dong Min bilang ibu pingsan. Padahal belum lama sejak ayah meninggal."

"Kenapa kau memikirkannya sekarang?"

Dan Yi meneguk minumannya lalu memberikan botolnya pada Eun Ho. Dia terkejut saat melihat mobil Eun Ho diderek. Eun Ho berusaha mengejarnya namun sia-sia. Dan Yi menangkupkan tangannya meminta maaf. Eun Ho pasrah dan tersenyum.


Mereka berlari dengan berdengan tangan melalui terowongan yang gelap. Tak lama, mereka muncul di jalan yang terang. Mereka saling tersenyum dan tertawa. Mereka tampak seperti sepasang pengantin yang sedang berbahagia. Kerudung pernikahan Dan Yi terbang tertiup angin. Eun Ho berusaha menangkapnya namun gagal. Mereka kembali berlari. Dan masih tetap bergandengan tangan.

Jika aku bisa memutar waktu dan memilih hari dimana aku bisa kembali, aku akan memilih hari itu. Hari dimana pernikahan membuatku tertekan. Seandainya aku memilih untuk tidak kembali ke pernikahanku. Seandainya aku pergi ke negara yang jauh seperti yang Eun Ho sarankan. Sekarang, aku pasti memiliki kehidupan yang sangat berbeda. -Dan Yi-



Terlihat Dan Yi dengan setelan kantor, sedang mempresentasikan sebuah produk minuman berenergi. Awalnya ketiga wawancara tampak terkesan. Namun semuanya langsung underestimate saat Dan Yi menceritakan kalau dia pernah mendapat penghargaan periklanan korea tahun 2012. Itu artinya sudah 7 tahun Dan Yi menganggur.

"Kamu bermalas-malasan setelah keluar dari pekerjaan 7 tahun yang lalu."

"Aku tidak malas. Aku membesarkan anakku dan merawat keluargaku."

Pewawancara tidak menerima alasannya. Terdengar musik mengalun. Tiga wanita masuk mengiringi Dan Yi menari. Dan Yi browsing lowongan kerja di warnet. Dia tidur di sauna. Menjadi kasir supermarket. Melamar kerja. Mengikuti acara motivasi. Dan selama itu musik terus berdendang dan ketiga wanita terus menari dimana-mana. Dan Yi dan semua orang pun menari riang. Kaya flashmop.


Dan Yi naik ke sebuah gedung. Dia masuk ke tempat wawancara. Tumitnya sampai lecet. Dia menanyakan pada wanita muda disampingnya apa punya plester. Wanita itu menjawab tidak. Dan Yi dipanggil bersama wanita itu.

Pewawancara perempuan bertanya ini itu pada Dan Yi (ini perempuan yang bikin Seo In Guk salah paham kalau Jung So Min adiknya di TSHLYE, sebel deh ama dia). Dan Yi menjawab kalau dia akan menggunakan pengalamannya sebagai seorang ibu untuk perusahaan. Pewawancara tersenyum.

Dan Yi masuk ke toilet di ikuti wanita muda. Dia memberikannya plester dengan alasan wawancanya sudah selesai. Berarti dia sengaja mengaku tidak punya mungkin agar Dan Yi merasa tidak nyaman saat wawancara. Dia bilang pekerjaan pemasaran sangat kompetitif untuk orang-orang usia 20-an. Dia tidap pernah melihat ibu-ibu seperti Dan Yi.

"Sangat mengganggu!"

Dan Yi hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Dia lalu memasangkan plesternya. Masuklah si pewawancara. Dan Yi mengambilkannya tisu. Dia berkata kalau dia terkesan dengan jawaban Dan Yi. Memangnya apa yang bisa Dan Yi berikan untuk perusahaan. Dan membahas masa lalunya. Pewawancara mulai mengeluarkan wajah aslinya. Dia melempar tissue pemberian Dan Yi.

"Jangan membanggakan diri karena kamu kembali bekerja setelah berhenti berkarir menjadi iburumahtangga selama 11 tahun.

Pewawancara menuduh Dan Yi sombong. Dia kesal dan memberitahu Dan Yi kalau dulu dia harus susah payah selama beberapa tahun untuk bisa mendapatkannya. Wanita itupun pergi.

Eun Ho yang memakai kacamata masuk ke sebuah kelas. Dia memberi pr mahasiswanya untuk membuat essay tentang perbedaan sastra bergaya dan sastra murni. Muridnya mengeluh. Dia juga meminta mahasiswanya mempersiapkan diri karena dia akan membuat kuis.

"Ayolah! Itu keterlaluan."

"Apa? Aku terlalu tampan? Aku tahu itu." (HAHA)

Dan kelaspun bubar. Tiga mahasiswa perempuan mengejarnya. Salah satunya menunjukkan novel buatannya untuk Eun Ho periksa. Eun Ho memintanya untuk mengikutkannya pada kontes yang akan di adakan oleh perusahaan penerbitannya. Mereka bertanya apa Eun Ho punya pacar.

"Ada. Aku baru menemui keluarganya kemarin. Kami akan segera menikah."

Lemaslah ketiga penggemarnya.


Dan Yi terlihat mengepel lantai. Dia menyiapkan buah di meja. Mengelap debu pada buku-buku di rak. Di melihat salah satu novel karya Eun Ho. Dan Yi tersenyum.  Dan Yi juga mengelap sebuah bingkai foto yang memuat foto anak perempuan dan laki-laki (kayaknya foto Dan Yi dan Eun Ho waktu masih kecil). Lalu dia mencuci baju dan menjemurnya. Saat menjemur, dia menemukan bra merah.

"Aigoo. Ukurannya lebih besar dari yang kemarin. Dia pasti mengencani gadis lain."

Eun Ho berjalan menuju mobilnya. Dia mendapatkan pesan di ponselnya.

"Pembantu rumahtanggamu bilang padaku kalau kau membawa beberapa gadis ke rumah. Menikahlah setelah kau menemukan gadis yang cocok. Berhenti mempermainkan para gadis." (Oh ternyata Dan Yi lagi bersih-bersih rumahnya Eun Ho)

"Aishhh. Menyebalkan."

Eun Ho langsung menelepon Dan Yi yang sedang membereskan dapur.

"Aku ingin kamu mencarikan pembantu yang baru."

"Kenapa? Aku akan bilang padanya biar lebih rapi dalam bebenah dan memastikan dia menyiapkan makanan yang cocok untuk seorang pemilih sepertimu."

"Aku tidak suka dia menceritakan semuanya padamu."

"Jadi, kapan kau akan memperkenalkan gadis dengan bra merah itu?"

"Astaga. Dia bahkan memberitahumu warnanya? Aku mempekerjakannya karena kamu yang merekomendasikan. Tapi, aku pikir dia kan cuma bekerja paruh waktu. Dia juga kikuk."

Eun Ho masuk mobilnya. Dia mematikan sambungan telepon.


Dan Yi panik. "Hey! Hey! Dia gampang banget marah! Dia tidak boleh memecatku." Dan Yi memasukkan persediaan makanan ke lemari es. Dia menemukan amplop uang dan membukanya. "Aku sangat membutuhkan uang ini."

Dan Yi mendapat panggilan dari sekolah Jun Hui (mungkin anaknya). Pihak sekolah mengatakan kalau Jun Hui ingin tetap disana untuk beberapa semester. Jadi membutuhan dokumen seperti surat jabatan Dan Yi dan juga surat pernyataan dari bank yang membuktikan kalau pendapatan Dan Yi lebih dari 10 juta won.

Galau deh Dan Yi.

Bersambung ke Romance is A Bonus Book episode 1 part 2
Read More

Sinopsis K-Drama : The Crowned Clown ( Episode 6 Part 4 )

The Crowned Clown
Episode 6 Part 1

Sumber konten dan gambar : TVN



Terlihat sekumpulan orang-orang berpakaian hitam. Salah seorang dari mereka berbicara pada seseorang yang tampak membelakangi mereka. Dia berkata bahwa Ming akan meminta bantuan mereka karena Aisin Gioro terus melintasi perbatasan.

"Jika perbatasan tidak terkendali, itu akan menguntungkan kita. Sekalipun raja tahu tentang kita, kita bisa mengatakan kalau kita melatih prajurit untuk melindungi perbatasan dari Aisin Gioro," lanjut yang lainnya.

Lalu datang seseorang yang membawa dua orang berpakaian biasa yang disebutnya gagal dalam ujian baru-baru ini. Orang yang tadi membelakangi mereka berbalik. 

Ternyata dia adalah Jin Pyung. Dia bertanya apa mereka sudah menandatangani hak nyawa saat bergabung. Bawahannya mengiyakan. Lalu dia melempar sebuah belati ke tanah.

"Yang bisa mendapatkan belati itu yang akan hidup."

Kontan kedua budakpun saling bergulat memperebutkan belati. Seorang berhasil dan menikam yang satunya. Dia langsung terjingkat mundur saat menyadari dia telah membunuh orang. Namun kemudian dia berlutut dan berkata dia berhasil.

Jin Pyung tertawa. Dia mendekati budak itu lalu serta merta menebas lehernya.


So Woon mendatangi kediaman ibu suri. Wajahnya masih tampak pucat. Di sana sudah ada Sun Hwa Dang dan selir raja yang lainnya. 

Ibu suri menuangkan teh untuk So Woon. 

"Raja sangat memperhatikanmu. Jangan pikirkan istana dan fokuslah untuk memulihkan kesehatanmu."

Tak terlihat senyum di wajah So Woon. "Aku akan memastikan cepat kembali untuk menjaga raja."

"Tentu saja. Cepat minum tehnya sebelum dingin."

Ibu suri tersenyum saat melihat So Woon meminum tehnya.

Ha Sun berdiri di balkon istana. Wajahnya tampak murung. Ternyata dia ingin melihat kepergian So Woon untuk berlibur. Terlihat sebuah tandu lewat. Ha Sun memandanginya dengan sendu. Dia hanya bisa menghela nafas.

Ternyata So Woon tidak menaiki tandunya. Dia berjalan kaki. Ha Sun kaget melihatnya. So Woon memandang ke arahnya. Dia membungkuk memberi hormat lalu tersenyum. Ha Sun mengangguk padanya seolah mengatakan agar So Woon kuat dan segera kembali pulih.

So Woon berjalan pergi. Dia naik ke tandu. Ha Sun tak pernah melepas pandangannya. Seolah tak bisa menahan perasaannya, dia berlari turun. Tapi Ha Sun berhenti di tengah jalan. 

So Woon membuka jendela tandunya. Mungkin dia berharap Ha Sun akan mengejarnya. Namun dia harus kecewa karena itu tidak terjadi.


Lee Kyu bertanya pada Mo Young siapa yang dipilih menjadi pengawal ratu. Mo Young mengingatkan Lee Kyu agar jangan cemas karena dia mengutus orang-orang yang melindungi raja dan juga anak buah terbaiknya. 

"Kapan Anda akan memberitahu raja tentang kondisi Anda?"

"Aku tidak akan mengatakannya."

"Kita harus menyelidiki dan menghukum orang yang berusaha membunuh Anda."

"Jika memang berniat membunuhku, dia tidak mungkin mengutus pengemis untuk melakukannya. Pasti ada maksud lain. Menyebabkan kekacaun di istana dengan memberitahu raja soal ini, mungkin keinginan orang itu dengan mengancam nyawaku."

Lee Kyu memperingatkan Mo Young agar raja jangan sampai tahu.


Ha Sun duduk sendiri di perpustakaan memegang sebuah buku. Dia melihat ke arah meja yang biasa dia gunakan belajar bersama Kasim Jo. Dia seolah-olah melihat So Woon sedang membaca di sana dan tersenyum padanya. Ha Sun ikut tersenyum. Dia mendekat hanya untuk menemukan kenyataan kalau So Woon tidak ada di sana.

So Woon berada di suatu tempat dengan pemandangan pegunungan yang sangat indah. Di depan penginapannya, terhampar danau yang jernih. So Woon keluar di dampingi Ae Young saat matahari mulai terbit. Dia tampak tersenyum.


Pagi berganti malam. Ha Sun berjalan seorang diri. Dalam memorinya terus berputar ingatan-ingatan kebersamaannya selama ini bersama So Woon (rindu bang). Dia berhenti di jembatan permohonan.

"Aku terus melihatnya di mana-mana, dan hatiku merindukannya."

So Woon memandangi bulan di langit malam. Ae Young memakaikannya baju penghangat(?). Dia meminta So Woon untuk beristirahat di dalam saja karena cuaca di luar sangat dingin.

"Ae Young-a. Siapkan kepulanganku besok."

Ae Young sedikit kaget. Dia bilang mereka baru berlibur sela tiga hari. Dan wajah So Woon sudah mulai cerah lagi. Jadi dia menyarankan So Woon untuk beristirahat lebih lama lagi. So Woon karena dia merasa sudah jauh lebih baik. Dia kembali memandang bulan sambil tersenyum.

"Sepertinya aku tidak akan pulih sepenuhnya sebelum kembali ke istana." (Ciee yang rindu berat, kasihan Lee Hun hehe)

"Belum lama berlalu. Tapi Anda sudah merindukannya."

"Memikirkan kembali saja membuatku kuat."

Ha Sun bertanya pada Kasim Jo kapan Lee Kyu kembali. Kasim Jo menjawab kalau Lee Kyu cuti selama lima hari. Ha Sun mengangguk lalu menanyakan apa belum ada kabar dari Dal Rae. Dengan gugup Kasim Jo memberitahu kalau surat yang waktu itu belum dia kirim.

"Kenapa kau tidak bilang lebih awal?"

Kasim Jo mengatakan kalau tempat hiburan itu adalah rumah Lee Kyu. Ha Sun kaget. Dia berniat pergi ke sana. Kasim Jo mencegahnya. Ha Sun menenangkannya dengan berkata kalau dia hanya ingin memastikan Dal Rae baik-baik saja. Setelah itu dia akan segera kembali. Kasim Jo ingin menemaninya tapi Ha Sun menolak karena tidak ingin merepotkan kasim Jo. Frustasilah Kasim Jo.


Ha Sun sudah berada di depan gerbang tempat hiburan dengan berpakaian biasa. Dia mengintip melalui dinding. Mo Young kebetulan lewat dan melihatnya. Tentu saja dia kaget melihat raja seorang diri di luar istana tanpa pengawalan. Dia bertanya apa raja mau menemui Lee Kyu. Ha Sun menyangkal dan beralasan ingin melihat festival Chongyang. Mo Young menawarkan diri untuk mengawalnya. Terpaksalah Ha Sun mengiyakannya. Dia berjalan sambil terus menengok ke tempat hiburan.

Terlihat So Woon ditandu melewati festival. Ae Young merayunya agar bisa jalan-jalan sebentar mumpung liburan. So Woon setuju. Dia langsung minta diturunkan dari tandu.

Ha Sun dan Mo Young melewati sebuah jembatan. Ha Sun melihat anak-anak yang sedang menuliskan harapannya pada selembar kertas di pinggir sungai. Dia mengajak Mo Young untuk melakukannya juga. Tapi Mo Young bilang tidak punya harapan. Ha Sun jelas heran. Dia membujuk Mo Young untuk mengatakan hanya padanya.

"Sebenarnya ini bukan harapan. Tapi aku punya keinginan. Adikku gugur saat melindungi Anda dalam pemberontakkan terakhir. Aku ingin melayani Anda dengan setia dan gugur dalam melaksanakan tugas (daebak).

Ha Sun tertegun. Dia bilang daripada Mo Young mati demi dirinya, lebih baik Mo Young hidup untuk dirinya sendiri dan melakukan keinginannya. Mo Young tampak tersentuh. Mereka lanjut berjalan.


Tiba-tiba Ha Sun berhenti karena melihat So Woon di depannya. Tapi kemudian So Woon tertutup iring-iringan festival. Ha Sun menganggap dia sedang berhalusinasi. Dan begitu iring-iringan pergi, tampak So Woon yang sama terkejutnya dengannya. Mereka melangkah cepat ke arah masing-masing seolah menggambarkan kerinduan mereka yang tak tertahankan (jiahahaha). Mereka saling melempar senyum.

"Yang Mulia. Benarkah ini Anda? Bagaimana kabar Anda?"

"Kabarku baik. Kenapa kau sudah kembali?"

"Tiga hari sudah cukup bagiku. Kalau lebih lama lagi, keadaanku pasti akan memburuk."

Ha Sun tersenyum. Dia mengajak So Woon pulang bersama. So Woon mencegahnya.

"Bisakah kita pulang nanti? Sebentar saja. Aku tidak bisa melihat burung yang terbang tinggi atau ikan yang berenang dalam lautan. Entah kapan aku bisa keluar lagi. Apa tidak boleh?"

"Baiklah."

Biksu Jung Sung terlihat membawa makanan. Dia terbelalak saat melihat pintu tempat Lee Hun terbuka dan gembok berada di lantai. Dia bergegas berlari ke dalam dan mendapati Lee Hun tidak ada di sana. Tiba-tiba dia mendengar Gab Soo berteriak memanggil-manggil Dal Rae. Gab Soo memberitahu kalau Dal Rae menghilang. 

"Sepertinya aku tahu keberadaannya. Ayo pergi ke kota," ajak biksu Jung Sung.


Ha Sun mengajak So Woon menonton pertunjukan sandiwara bertopeng. Awalnya So Woon tampak terkesima. Namun saat memasuki bagian cerita, dia tampak murung. Ternyata itu sandiwara tentang ratu dan Sun Hwa Dang. Ha Sun menatap So Woon khawatir.

Terlihat ada seseorang yang hendak mencopet Ha Sun. Dengan cekatan Mo Young langsung mencekalnya tanpa diketahui Ha Sun.

So Woon sepertinya shock. Dia memegang lengan Ha Sun. Ha Sun iba melihatnya. Dia segera menarik tangan So Woon pergi dari sana.

Mo Young selesai mengurus si pencopet. Dia panik mendapati raja dan ratu menghilang. Begitupula Ae Young yang sedari tadi melihat Mo Young mengatasi pencopet tanpa memperhatikan raja dan ratu.

Ha Sun dan So Woon terus berlari. Mereka baru berhenti saat So Woon kelelahan. Ha Sun segera melepaskan genggaman tangannya dan mengaku kalau dia sengaja mengajak pergi karena tidak ingin So Woon melihat sandiwara itu lagi.

"Yang Mulia. Aku tidak goyah. Bisa bersama Anda seperti ini, aku serasa bermimpi indah."

"Jika ini mimpi. Andai ini benar-benar mimpi. Aku tidak akan disalahkan atas apapun yang kulakukan." Ha Sun menggenggam tangan So Woon dan mengajaknya pergi.


Lee Hun berjalan di tengah kota. Dal Rae tertatih-tatih mengikutinya hingga kakinya terluka. Dia tidak sanggup lagi berjalan dan terjatuh ke tanah. Dan terlihat Ha Sun dan So Woon berjalan membelakanginya.

Sekuat tenaga Dal Rae berusaha memanggil kakaknya. Awalnya hanya seruan lirih. Namun akhirnya dia berhasil berteriak. "Kakak!!!"

Lee Hun berbalik. Begitupula dengan Ha Sun dan So Woon yang masih bergandengan tangan. Mereka seperti saling melihat satu sama lain. Lee Hun dengan seringaian marah. Ha Sun dengan pandangan terkejutnya. Dan So Woon dengan tatapan heran.


Read More