Buang Hong
(A Lasso of A Swan)
Episode 1 Part 2
Sumber konten dan gambar : Channel 3
Episode 1 Part 2
Sumber konten dan gambar : Channel 3
Buang Hong episode 1 part 1
"Beruntung warga lokal berhasil menyelamatkan diri. Tapi mereka kehilangan semua yang mereka miliki," ujar sekretarisnya.
Ramet mendekati seorang nenek dan anaknya. "Nek, dalam beberapa hari, saya akan mengirim orang untuk membantu membangun rumah baru untuk kalian. Jika membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk bilang padaku."
Nenek berterimakasih atas kebaikan Ramet. Ramet mengatakan kalau mereka sama-sama warga lokal, jadi harus saling menolong. Anak nenek merasa menyesal karena seharusnya dia menjual tanahnya lebih cepat pada Ramet. Jadi mereka tidak perlu kehilangan harta mereka seperti ini.
"Apa kamu masih menginginkan tanah kami?"
"Jangan khawatirkan soal itu dulu. Kita bisa membahasnya nanti-nanti kalau keadaan kalian sudah membaik."
Di kantornya, Kitichai sedang bicara dengan seorang bernama Mr. Andy di telepon. Dia tidak menyangka warga lokal akan mendapat bantuan dari Ramet alih-alih menjual tanah mereka pada kita.
"Aku akan mencari jalan keluarnya. Kau pasti akan dapat membangun kerajaanmu." Kitichai mengakhiri percakapannya. Dia tampak berpikir.
Ramet dan sekretarisnya berjalan menuju mobil.
"Sejujurnya, saya tidak setuju dengan proyek ini. Orang-orang berpikir Anda hanyalah investor yang membeli tanah warga lokal."
"Aku tidak peduli. Aku tahu betul apa yang aku lakukan."
"Aku tahu Anda hanya ingin menyelamatkan hutan dan tanah dari investor asing. Tapi Anda telah menempatkan diri dalam bahaya. Kitichai sudah semakin dekat. Dia pasti akan melakukan seseuatu."
"Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan."
Ramet sudah kembali ke hotel. Sekretarisnya mengabarkan kalau para reporter sudah datang. Ramet tersenyum penuh misteri.
Sementara di tempat lain, Pim baru turun dari mobilnya. Ponselnya berdering. Dia masuk ke suatu tempat diikuti dua orang yang membawa pakaian di belakangnya. Sesampainya di depan seorang wanita dan seorang nenek, Pim langsung marah-marah karena mereka meneleponnya 20-30 kali. Pim sudah bilang kalau dia punya pekerjaan lain pagi ini. Dia minta ini dibatalkan, tapi mereka yang tidak mau.
"Tolong hargai aku!"
Wanita yang lebih muda kelihatan tidak enak pada Pim. Sedangkan yang lebih tua alias nenek-nenek tampak sinis melihat tingkah Pim.
Di depan wartawan, Ramet mengatakan kalau baginya menjadi tepat waktu itu penting. Sedangkan Pim di tempatnya berkata dia hanya terlambat 45 menit. Seolah menyahut, menurut Ramet itu hanya alasan untuk orang malas. Di hotelnya, Chiang Rai Jaravee, mereka mengedepankan sikap sehingga selalu bisa selangkah lebih maju. Telat satu menit saja, hanya memberikan peluang untuk kompetitor mengungguli kita.
Lagi-lagi ucapan Pim dan Ramet seolah sambung-menyambung (menjadi satu itulah Indonesia, hehe)
"Kan cuma 45 menit. Tidak menyebabkan banyak kerugian."
Pim melenggang pergi. Si nenek langsung buka suara. Dan suaranya ternyata ngebass alias cowok (HAHA).
"Kamu emang ga rugi. Tapi aku yang kehilangan hidupku."
Eh, si Pim balik. "Kehilangan apa?"
Si nenek cuma bisa mesem lebar.
"Oh ya. Aku minta wangi lilin dan air musim semi favoriku. Dan AC'y harus 24 derajat."
Pim masuk ke ruangan pemotretan. Dia menghirup udara dalam.
"Hmmmm. ACnya sangat nyaman." Dia menatap minuman dan makanan di meja dengan senyuman.
Ramet berkeliling menunjukkan hotelnya sambil di rekam oleh seorang juru kamera. Dia bilang, keinginan pelanggan tidak peduli besar atau kecil, mereka akan melayani dengan senang hati.
Pim menarik nafas mencium aroma di ruangan itu. Awalnya dia tersenyum. Tapi dia menyadari kalau itu bukan wangi yang dia pesan. Marah-marah lagi deh dia. Wanita yang baju ungu bilang kalau wangi yang di pesan Pim habis. "Tapi itu masih satu merek kok."
Pim tidak mau tahu. Dia mau wanginya diganti. Kalau tidak, seperti biasa, dia tidak mau bekerja. Para model dan kru yang ada di sana hanya bisa menatapnya tidak habis pikir. Bahkan salah satu kru berkacamata, mengeluh pada si nenek, yang namanya ternyata P'Gina. Dia tidak mau bekerja kalau ada Pim lagi. Begitupun wanita berbaju ungu.
Pim yang baru selesai ganti baju datang. Dia mendengar keluhan mereka. P'Gina mendekatinya.
"Bagaimana? Semuanya OK? Senang? Puas? Kamu terkesan sekarang?"
"Belum."
Pim menatap si kacamata dan baju ungu. "Orang yang ngomongin orang lain di belakangnya. Kalau mereka nggak tulus, tolong singkirkan mereka lain kali. Aku nggak suka. Bikin bad mood."
Selesai berkeliling, giliran sesi tanya jawab. Salah seorang wartawan menanyakan kabar kalau Ramet membeli tanah penduduk lokal untuk memperluas hotelnya. Penduduk lokal katanya tidak senang dan menolak menjual tanahnya. Jadi para investor melakukan pembakaran untuk mengusir mereka.
Ramet dan sekretrisnya saling bertukar pandang. Kemudian mereka tersenyum. Ramet menjawab bahwa dia menyerahkan penyelidikan soal pembakaran rumah pada polisi. Dia yakin kebenaran akan segera terungkap. Dia juga meyakinkan wartawan kalau dia sudah mematuhi hukum saat membeli tanah warga lokal.
"Soal apakah tanah itu untuk memperluas hotel, aku akan mengatakan pada kalian saat waktunya tepat. Itu akan jadi kejutan." Ramet tersenyum penuh arti.
Selesai wawancara, Ramet dan sekretarisnya pulang ke rumah.
"Anda sudah mengumumkan perang melalui media. Mereka tidak akan berani melakukan hal lain."
"Aku harap juga begitu."
Pim melakukan pemotretan. Dia tampak anggun dan profesional. Sampai-sampai P'Gina memuji bakatnya terlepas dari sikap jahatnya. Belum lagi majalah mereka selalu terjual habis setiap Pim ada di sampul halaman. Akan lebih baik lagi kalau Pim tidak banyak menuntut.
Pemotretan selesai. Pim berniat pergi, tapi P'Gina buru-buru memanggilnya. Dia bilang masih ada beberapa sesi lagi. Pim bisa ganti baju dan melanjutkan pemotretan.
Pim menolak karena selama briefing P'Gina hanya menyebutkan 6 gaun. Dan sekarang sudah 6 gaun.
"Kamu bercanda ya? Kamu pasti lelah. Kamu bisa istirahat dulu kalau begitu."
"Bukan cuma istirahat. Aku akan pergi. Apa itu jelas?"
"Tapi kita belum selesai."
"Aku yakin kamu bisa pakai semua foto dari 6 set tadi. Bahkan lebih."
Pim melenggang pergi. P'Gina dan si baju ungu mengejarnya.
"Tunggu Nong Pim. Kamu tidak bisa pergi seperti ini. Kamu tadi datang telat, kenapa pulangnya cepat?"
Pim gusar. "Aku kan udah bilang, aku ada pemotretan iklan setelah ini. Sorenya ada fashion show. Lagian aku juga udah kasih waktu extra."
P'Gina tidak kalah gusarnya. "Kalau kamu sebegitu sibuknya. Harusnya kamu mempekerjakan seorang manager. Jadi kamu tidak terlalu lelah dan pergi meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.
Pim kesal. Tiba-tiba datang seorang pria dengan sebuket bunga di tangannya.
"Dia tidak perlu mempekerjakan manager."
Pim terkejut. Dia tampak senang melihat siapa yang datang. "Paul!" Pim menerima buket bunganya dengan riang.
"Mulai sekarang, aku akan menjagamu secara pribadi maupun profesional," ujar Paul.
"Hmmm? Kamu yakin? Kamu sendiri kan udah sibuk. Belum lagi kegiatan amal ibumu."
"Nggak masalah. Sesibuk apapun, aku akan memberikan waktuku untuk tunanganku."
Pim senang. P'Gina dan si baju ungu cuma bisa jadi nyamuk. Paul mengajak Pim pergi.
P'Gina kesal banget. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memakai Pim lagi. Mereka akhirnya bergosip soal Pim dan mantan ibu tirinya. Si baju ungu bilang harusnya Pim bisa mencontoh kepribadian baik Khun Vi. Kan mereka pernah tinggal seatap.
"Gimana bisa? Kan khun Vi dan Khun Tai kan menikah kurang dari 3 tahun."
"Beneran?"
"Mungkin Khun Vi nggak tahan sama sikap jahat anak tirinya. Hanya beberapa jam bersamanya saja, aku hampir gila."
Khun Vi sedang menggelar fashion show baju-baju rancangannya. Para tamu bertepuk tangan saat Khun Vi naik ke panggung dengan sebuket bunga sebagai ucapan selamat.
Para wartawan mewawancarainya. Tak ketinggalan kedua asisten setianya turut mendampingi di sampingnya.
"Martha Fashion, kami memamerkan konsep yang ada. Mengurangi kesek*ian dan menambah gaya lebih kuat. Mempresentasikan perempuan modern yang memiliki kelembutan juga kekuatan.
Salah seorang wartawan bertanya soal gossip bertengkaran Khun Vi dan Pim 2 minggu lalu. Khun Vi menarik nafas sok sedih. Dia membenarkan adanya adu argumen. Tapi itu karena mereka berdua ingin hasil yang sempurna.
"Kami sudah menyelesaikannya. Dan berakhir dengan baik."
"Apa kamu mau bekerja dengan Pim lagi? Katanya Pim tidak mau fashion show denganmu lagi. Sayang sekali, Pim kan sedang sangat terkenal sekarang."
Khun Vi tampak tidak suka mendengar pujian untuk Pim. Tapi dia tetap pura-pura baik.
"Aku bekerja dengan semua orang. Kita harus bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Dan untuk Pim. Kalian harus tanya sendiri padanya. Apa dia mau menciptakxn masalzh dengannya?"
Hasil wawancara secepat kilat nangkring di berita online. Pim yang sedang bersama Paul jelas kesal dan mengadu kalau matador menyebutnya pembuat masalah. Dia menunjukkan ponselnya pada Paul.
"Tenang Pim. Tidak perlu memperhatikan berita gila ini. Lihat nih job baru kamu."
Paul menyodorkan tabletnya. Pim terkejut melihat banyaknya job yang Paul terima.
"Paul! Apa kamu gila? Aku ini bukan mesin."
Paul mencoba membujuk Pim. "Pim. Kamu sangat terkenal sekarang. Setiap orang ingin bekerja denganmu. Kalau kamu capek, ayo kita belanja buat menghilangkan stress."
Cewek mana yang bakal menolak diajak belanja. Mereka pergi ke sebuah mall. Terlihat Pim memilih beberapa dompet mewah. Merasa kurang puas, Pim mengajak Paul ke toko lain. Paul terlihat kurang nyaman.
Pim sedang melakukan pemotretan. Paul duduk selonjoran di sofa sambil main handphone dan sesekali memperhatikan Pim.
Mereka pergi shopping lagi. Paul terlihat bicara dengan seseorang di ponsel di luar sementara Pim memilih-milih tas branded.
"Bro! Keberuntungan belum memihakku sekarang. Aku kalah judi. Ayolah! Aku akan membayar bunga beserta uang pokoknya dalam dua hari."
Paul menutup sambungan teleponnya. Dia tampak frustasi lalu masuk ke dalam toko.
"Pim, apa kamu mau membelinya lagi? Kamu kan udah punya beberapa tas dengan tipe, ukuran, dan warna yang sama."
"Itu cuma mirip. Ini nggak sama kok."
Paul tersenyum. "Waktu kamu bilang miril, emangnya kamu ingat mirip yang mana?"
Pim tampak berpikir. Dia menjawab malu-malu. "Enggak. Aku nggak ingat. Ayolah jangan terlalu serius. Beli barang bagus itu nggak bikin sakit. Lagian aku bayar pakai uang hasil kerja kerasku sendiri. Jadi aku membeli kesenanganku. Dan lagi, aku hanya perlu kerja sedikit untuk dapat tas ini (enak banget ya). Bahkan kalau aku nggak kerja, aku bisa minta sama ayahku. Dan kalau kita menikah, aku bisa minta sama kamu. Benarkan?"
Paul terpaksa tersenyum. Dia tampak memikirkan sesuatu.
Selesai belanja, mereka pulang ke rumah Pim yang besar dan mewah. Pim pamit mau mandi dulu. Dia naik ke kamarnya di lantai atas.
Paul duduk di kursi sambik mengedarkan pandangannya. Sepertinya terbesit suatu ide di kepalanya. Diam-diam dia naik ke lantai atas. Dia memastikan Pim sedang mandi. Lalu dia masuk ke ruangan tempat Pim menyimpan koleksi tasnya. Dia melihat-lihat lalu mengambil dua dompet hitam di etalase. Dia pergi membawa dua benda itu.
Bersambung ke Buang Hong episode 1 part 3
5 komentar
Kak lqnjutin sinopsis y q penasaran kelanjutan y,makasih.
Lnjutin donk..bagus ceritanya dtggu ...mks
Kok mngatung ni critax...lm sx lnjutanya
Kpn ni ilnjutin nulis sinopsisnya
Lnjutin dong sinopsisnya
EmoticonEmoticon