Sinopsis Abyss Episode 12 Part 2

Drama Korea
Abyss
Episode 12 Part 2

Sumber konten dan gambar : TVN



Dong Cheol sontak kaget melihat Ji Wook. Dia gugup harus memberi jawaban apa. "Jaksa Seo... Aku hanya... Anggrek ini... Begini, Kami menerima laporan tentangmu."

"Apa isi laporannya?"

"Maksudku... Ini.. Baiklah. Aku terus terang saja. Ditemukan darah milik putra Oh Yeong CHeol di tempat Jang Sun Young diculik. Putra biologisnya, Oh Tae Jin, diyakini sudah meninggal."

Ji Wook menaikkan sebelah alisnya. Dong Cheol melanjutkan ucapannya. "Firasatku kamu mungkin,,, putranya, Oh Tae Jin."

Ji Wook tertawa kecil. Dong CHeol ikut tertawa canggung. "Terdengar absurd kan? Aku juga merasa ini absurd, tapi kita harus bekerjasama. Jadi, aku tidak ingin ada salah paham. Kenapa tidak tes DNA saja agar tidak ada salah paham?"

Ji Wook menatap DOng CHeol hingga membuat Dong CHeol salah tingkah. "Entah bagaimana merasionalkan situasi ini. Kamu menyelidiki dugaanmu sendirian, di luar ini. Tidak ada bukti, tapi kamu mengincarku berdasarkan insting. Begitukah seharusnya situasi ini? Siapa yang bertugas menyelidiki?"

"Begini,, jika tidak ada yang kamu sembunyikan, tidak ada alasan tidak bersedia tes DNA."

Tiba-tiba Hakim Seo masuk. "Tes DNA? Bicara apa kamu?"


Dong CHeol menyapa Hakim Seo.

"Jadi pada dasarnya ada spekulasi bahwa putraku mungkin putra orang lain? Putra biologis pembunuh berantai lebih tepatnya? Benar, Detektif Park?" tanya Hakim Seo.

Dong CHeol mengaku mendapat informasi soal itu. Hakim Seo meminta Ji Wook memberikan apa yang Dong CHeol butuhkan.. Menurut Ji Wook, mereka tidak peru kerjasama dalam penyelidikan yang konyol ini.

"Jangan cemas, Ayah!"

"Beri saja yang dibutuhkan agar dia pergi. Ku beri milikku juga. Bawa sampel dan bandingkanlah! Kamu akan tahu."

"Baik, Pak."


Dong CHeol keluar dari kantor kejaksaan sambil membawa sampel rambut Ji Wook dan Hakim Seo. Dia galau sendiri.

Flashback

"Polisi meminta kerja sama untuk memastikan beberapa hal mengenai investigasi. Tentu kita harus kerja sama. Tapi jika ternyata kamu salah soal ini, maka kamu jelas harus bertanggung jawab," ucap Hakim Seo memperingatkan.


Flashback end


Dong Cheol bicara sendiri. "Jika Jaksa Ko benar, tidak masuk akal Hakim Seo sangat percaya diri. Terserahlah! Hasil tes akan mengungkap kebenarannya." Dong Cheol menghubungi SeYeon memberitahukan kalau dia sudah mendapatkan sampel rambut Ji Wook dan Hakim Seo.


Hakim Seo duduk berdua dengan Ji Wook di ruangannya. Ji Wook bertanya apa Hakim Seo sudah menyerah dengan segalanya?

"Walau kita tidak bekerja sama, mereka tetap akan mencari sampelmu. Kenapa kamu membiarkan semua sekacau ini? Kurasa karma membalasku. Tidak perlu menyalahkan orang," ucap Hakim Seo lalu pergi. Ji Wook diam. Matanya menatap tajam ke depan.

***

Min mengajak Se Yeon ke sebuah pusat perbelanjaan. Se Yeon menggerutu kalau di saat kritis seperti ini, dia malah bekerja di sana sebagai sekretaris Min. Min paham itu pasti menyebalkan, tapi dia tidak bisa membatalkannya.

"Pikirkan status sosialku. Dan kamu pengangguran."

"Wah! Kini kamu bahkan tidak ragu menyebut pengangguran di depanku. Setelah identitasku kembali, aku,,,,"


Ponsel Min berdering. "Halo Pak Choi! Bagaimana dengan orangtua Se Yeon? Mmmm mereka senang menikmati udara dan air bersih seakan sedang berlibur?" Se Yeon tersenyum kesal. "Senang mendengarnya. Tolong jaga mereka. Tolong jaga keamanan mereka setiap waktu. Baik, terimakasih." Min mematikan teleponnya lalu kembali ke Se Yeon. "Sampai dimana tadi? Katamu akan berbuat apa setelah identitasmu kembali?"

Se Yeon memaksakan senyumnya. "Kubilang akan membayar kebaikan dan kemurahan hatimu."

Min berdecih. "Semua orang dikantor tahu kamu sekretarisku, jadi tidak baik jika kamu tidak di sini. Katanya butuh waktu sebelum hasil tes DNA keluar, jadi, ayo periksa tanggapan pelanggan dan temui detektif Park, ya?"


Se Yeon mengiyakan sambil ngeloyor pergi dengan wajah kesal. Min tersenyum melihat tingkahnya.

Ternyata mereka disana untuk mempromosikan produk kosmetik terbaru dari Lan Cosmetics. Min bicara dengan salah seorang
 pegawainya menanyakan apa ada komplain soal reaksi dan  iritasi. Se Yeon memperhatikan mereka tidak jauh dari sana.


"Dia jelas sengaja melakukan ini. Dia tahu aku suka pria yang profesional. Karena dia membuatku mengikutinya. Tapi harus kuakui dia tampak seksisaat sedang bekerja," gumam Se Yeon.

Datang dua pengunjung wanita dan mengomentari ketampanan Min yang bak model. Mereka langsung mendekati Min. Min menyapa dengan ramah. Dia menawarkan pelembab bibir limited edition yang diluncurkan hari ini. Warnanya tajam dan harum.

"Maukah kamu mencobanya? Akan cocok dengan riasanmu?"


Se Yeon kesal melihatnya. "Astaga! Dia tidak perlu memulaskannya. Apa itu? Kenapa menggoda?"

Min tampak memakaikan lipstik ke bibir pelanggan.

"Lihat itu! Dia akan memakan seluruh produknya,"komentar Se Yeon.

Tiba-tiba saja sudah banyak wanita yang mengantri ingin dipakaikan lipstik oleh Min.

"Maksudku, itu laku keras," lanjut Se Yeon. "Tapi mereka kemari untuk membeli riasan. Kenapa mereka terus bicarakan ketampanannya?"

Min meminta para wanita berbaris. Mereka kontan sangat senang.

"Apa? Kini mereka berbaris? Sulit dipercaya. Aku terkesan," gumam Se Yeon.


Beberapa saat kemudian, Min menunggu Se Yeon di depan toilet wanita sambil membawakan tasnya. "Jadi begini rasanya menunggu pacar, membawakan tasnya di depan toilet? Aku menikmatinya." Min tertawa sendiri.

Ponsel Min berdering. Ada telepon dari Hee Jin.

"Ya ada apa? Abyss? Ada apa dengan itu?"


Di dalam toilet, para wanita menggosipkan ketampanan Min. Se Yeon mendengarkannya sambil tersenyum.


Min bertanya kenapa Hee Jin menanyakan Abyss. Tapi tiba-tiba sambungan telepon dimatikan. Se Yeon keluar dari toilet. Min menyerahkan tasnya.


"Aku membuatmu menunggu lama, ya? Ayo!" Min mengikuti Se Yeon sementara dua wanita pengagum Min memperhatikan mereka.


Min meminta Se Yeon menunggu karena dia harus ke toko.

"Kenapa? Kamu butuh apa?"

Min berpikir sebelum menjawab. "Aku butuh sepuluh... Tidak. Lima menit harusnya cukup. Aku segera kembali."

Se Yeon tidak mau ditinggal sendirian. Tadi Min tidak membiarkannya ke toilet sendiri, kenapa sekarang malah mau meninggalkannya? Se Yeon ngotot mau ikut dan melihat tokonya. Min bersikeras akan cepat kembali. Tapi Se Yeon lebih keras kepala ingin ikut dengan Min. Min akhirnya mengalah.


Ternyata Min pergi ke toko perhiasan. Melihat benda berkilau di depannya, Se Yeon langsung tersenyum. Dia menepuk bahu Min. "Urus keperluanmu. Aku akan melihat-lihat."


Se Yeon menyukai sebuah kalung. Dia bilang itu gayanya. Dia tanya pendapat Min apa kalung itu akan terlihat bagus padanya. Se Yeon senyam-senyum.

"Ya. Itu bagus," jawab Min biasa saja.


Pramuniaga memberikan perhiasan yang diminta Min untuk diperbaiki. Min tidak perlu membayar karena masih dalam masa garansi. Dia bilang pada Se Yeon kalau itu kalung ibunya. Dia lalu mengajak Se Yeon pergi.

"Jadi, kamu sudah selesai? Kamu tidak lupa sesuatu? Sudah?" tanya Se Yeon.

"Ya. Aku bilang akan segera kembali, kan. Ayo!"

Se Yeon tersenyum meski terlihat jelas dia mengharap sesuatu. "Bukankah ibumu punya sekretaris? Kenapa kamu harus... kenapa kamu yang ambil?" Se Yeon kesal sendiri.

Ponsel Se Yeon berdering. Dong Cheol yang meneleponnya. "Halo Detektif Park! Apa? Dia menghilang?"

***

Se Yeon membaca surat yang ditinggalkan Hee Jin.

Aku tidak ingin merepotkan atau bergantung padamu lagi. Aku akan menghubungimu lagi setelah semuanya beres. Terimakasih untuk semuanya.



Perawat yang ada di sana menjelaskan kalau sejak sadar, Jang Sun Young terus berkata kalau disana terlalu sesak. "Dia pergi untuk menghirup udara segar, tapi tidak kembali sejak itu. Kuminta dia tetap di sini, tapi.... Aku sungguh minta maaf. Seharusnya ku periksa lebih awal."

Se Yeon hanya mengangguk. Dia berusaha menghubungi Hee Jin tapi tidak di angkat. Dong Cheol yang sudah memeriksa cctv mengatakan kalau yang dia lihat tidak ada tanda-tanda pemaksaan. Hee Jin mendorong kursi roda sendiri dan memanggil taksi.

Dong Cheol berpendapat kalau Hee Jin pasti merasa hidupnya dalam bahaya. Kali ini dan sebelumnya, Oh Yeong Cheol terus menemukannya tidak peduli dimana dia. Sulit bagi Hee Jin memercayai orang di sekitarnya.

"Aku ragu dia punya tujuan," ucap Min.


Ji Wook baru keluar dari kantornya. Di luar, Hee Jin menemuinya.

"Su Jin?"

"Kamu tahu dimana Oh Yeong Cheol sekarang?"


Berita di televisi menyiarkan kaburnya Oh Yeong Cheol saat olah tkp. Polisi melakukan pencarian nasional dan menyebar foto Oh Yeong Cheol. Tapi kurangnya informau dan laporan menghambat penyeidikan. Oh Yeong Cheol menontonnya sambil santai makan camilan.

Di kepolisian Dongbu, para detektif galau menonton berita itu. Apalagi sang pewarta menyebut lolosnya Oh Yeong Cheol karena kecerobohan polisi. Salah seorang detektif mematikan televisi. Dia berkomentar kalau Oh Yeong Cheol mungkin saja sudah mati. Bagaimana bisa tidak ada tanda-tandanya.

"Itulah. Dimana tikus itu bersembunyi," ucap detektif Choi.

Dong Cheol meminta mereka bersabar. Dia rasa mereka akan segera menangkapnya. "Dia dan pionnya."


Tiba-tiba Kepala Polisi datang dan menampar Dong Cheol. Dia melempar laporan hasil tes DNA Ji Wook dan Hakim Seo. "Dasar bedeb*ah gila! Beraninya kamu menyebut Seo Ji Wook sebagai putra biologis Oh Yeong Cheol? Dasar bod*h! Klaim absurd pun harus terdengar meyakinkan. Haruskah ku dapat itu juga dari Hakim Seo langsung? Hakim yang menjadi calon Hakim Agung? Kita sudah terpuruk karena Oh Yeong Cheol lolos. Kamu mencoba mengubur kita semua, hah? Apa niatmu membuat kita tampak tidak kompeten? Aigoo! Tidak bisa dipercaya. Aku bahkan tidak bisa menatapmu sekarang. Jadi, serahkan senjatamu dan pergi! Jangan kembali hingga diminta." Kepala polisi langsung pergi setelah meluapkan amarahnya.


Dong CHeol meletakkan kunci mobil inventaris dan ID Card-nya lalu pergi. Detektif lainnya tidak enak melihatnya. Detektif Choi bahkan marah dan menendang kursi.


Hakim Choi menatap sampel rambut milik Ji Wook. Sepertinya dia menukarnya dengan rambut Ji Wook yang asli.Ji Wook masuk ke ruangannya.

"Ayah membereskannya kan?"

Hakim Seo hanya berdehem. Ji Wook berterimakasih padanya.

"Aku tidak melakukannya untukmu." Hakim Seo beranjak dari kursinya dan mengambil jasnya. Dia bilang ada janji lalu pergi.

Ji Wook teringat ucapan petugas laboratorium. "Tes mengungkap DNA 99 persen cocok." Ji Wook bertanya-tanya bagaimana Hakim Seo mendapatkan DNA Seo Ji Wook dan menukar sampelnya.

***

Hakim Seo masuk ke mobilnya dan menyetel GPS ke Panti Jompo Sugyeong.


Se Yeon baru selesai dari kamar mandi. Min menyerahkan ponselnya karena Dong Cheol menelepon. Se Yeon terkejut saat diberitahu tentang hasil tes DNA Ji Wook dan Hakim Seo.

Se Yeon : Mungkinkah sampelnya tertukar?
Dong Cheol : Kurasa tidak. DNA jaksa Seo pun tidak cocok dengan sampel darah dari pabrik terbengkalai (tempat persembunyian Oh Yeong Cheol).
Se Yeon : Baiklah. Sejauh ini aku paham.

Sambungan telepon dimatikan. Se Yeon terhenyak.

"Ini soal hasil tes DNA Jaksa Seo?" tanya Min.

"Ya. DNA-nya 99 persen cocok dengan hakim Seo. Mereka ayah dan anak.

"Itu mustahil," ujar Min.

"Mungkinkah ingatanku salah? Sulit percaya ingatan Bu Jang. Jadi, mungkin aku buru-buru menyimpulkan."

"Tidak. Beberapa hal menunjuk pada Seo Ji Wook. Se Yeon! Ini kasus pembunuhanmu, bagaimanamungkin kamu salah? MAri berpikir rasional kali ini. Seo Ji Wook adalah Jaksa top, dan Hakim Seo adalah keluarga sahnya. Mereka bisa dengan mudah memalsukan hasil tesnya. Oh Yeong Cheol masih berkeliaran. Jadi membuat Seo Ji Wook mengakui kejahatannya butuh waktu lama. Tetaplah kuat, ya."

Se Yeon mengangguk.


Se Yeon dan Min tidur satu kamar lagi. Se Yeon tampak gelisah dan tidak bisa tidur.

"Aku tahu ini sulit. Tapi cobalah tidur," ucap Min.

"Oh. Maafkan aku. Kegelisahanku pasti membangunkanmu."

"Aku tidak apa. Kamulah yang aku khawatirkan."

Se Yeon bangun. "Aku tidak bisa. Kamu harus tidur tanpaku."


Se Yeon pergi ke kamar rahasia. Dia mencoret-coret buku membuat pola hubungan Oh Yeong Cheol, Hakim Seo, dan Ji Wook. Min masuk ke sana dan sudah siap dengan hoodie-nya.

"Kamu mau pergi?" tanya Se Yeon.

"Kamu tidak bisa tidur, kan?"

"Ya."

Min mendekati Se Yeon. "Kalau begitu ikut aku. Ada yang ingin ku tunjukkan.


Min membawa Se Yeon ke atas bukit. Se Yeon senang melihat pemandangan yang sangat indah dari sana.

"Tempat apa ini? Indah sekali! Daebak!!"

"Ini bahkan bukan bagian terbaiknya. Jeng!!" Min mengeluarkan minuman yang dia bawa.

"Wah. Ini yang ku sebut perhatian," ucap Se Yeon. Mereka pun bersulang. "Ini sangat menyegarkan. Oh! Indahnya!"

Min tersenyum melihat Se Yeon kembali tersenyum. "Kamu senang kesini?" Se Yeon mengangguk.

Keduanya berbaring di tanah dengan alas tikar.

"Aku terlahir di tubuh yang lebih kecil dengan wajah pasaran. Tapi aku senang bisa hidup dan bereda di sisimu," aku Se Yeon.


"Apa maksudmu kecil dan pasaran? Bagiku kamu orang paling spesial dan luar biasa. Beberapa pekan ini pasti sulit untukmu. Aku tahu ini terdengar egois,,, tapi aku bahagia. Karena itu kadang aku menyesal dan merasa bersalah. Tetap saja aku juga bersyukur bisa membantumu. Begitulah bagiku. Aku egois kan?"


"Tidak juga. Tapi kamu terdengar konyol." Min langsung menoleh. Se Yeon tertawa. "Aku hanya bercanda. Begitu juga bagiku. Seluruh situasi ini absurd. Tapi aku menikmati hidupku dengan syukur juga. Jika aku tidak mati dan hidup kembali, aku mungkin tidak pernah hidup bersemangat dan jujur seperti ini. Khususnya soal cinta. Aku belum pernah memberitahumu,  tapi aku menyukaimu beberapa kali."

Min tertawa tidak percaya. "Jangan konyol! Kapan?"

"Saat baru masuk SMA. Kenapa aku memberimu coklat saat valentine? Omong-omong, itu bukan terakhir kalinya aku goyah akan perasaanku padamu."


Min langsung bangun mendengar pengakuan Se Yeon. "Kamu sungguh tidak perlu berbohong soal semua ini."


Se Yeon ikut bangun. "Hei! Kenapa kamu pikir aku terus berteman denganmu selama lebih dari 20 tahun?"

"Lalu kenapa kamu terus menolakku? Sudah ku katakan berkali-kali aku menyukaimu."

"Hei! Aku berniat menerima setelah menolakmu beberapa kali. Tapi kamu cepat menyerah dan mengatakan pria lain lebih cocok untukku. Kamu terdengar seperti pecundang. Lalu saat aku siap melupakanmu dan melanjutkan hidup, kamu mengajakku kencan lagi. Kamu terus membuatku bingung. Jika dipikir-pikir, kamu mempermainkan perasaanku."

"Itu karena kamu terus menolakku. Hei, aku menyukaimu, tapi kemudian aku harus menyerah. Maksudku, penolakanmu sangar kasar."


"Bagaimana sekarang? Aku belum menolakmu."

"Apa?"

"Kenapa kamu tidak megajakku berkencan?" tanya Se Yeon blak-blakan. "Kita berciuman, dan kini tidur bersama. Kapan kamu akan mengajakku kencan?"

Min menggaruk hidungnya. "Aku berniat menunggu waktu yang tepat."

"Dan ku katakan padamu ini saatnya. Saat ini juga. Right now!! Kamu tidak tahu kapan waktunya tepat," gerutu Se Yeon.

"Waktu?"

"Baiklah! Karena kita saling jujur, mulai hari ini...."


Belum selesai Se Yeon bicara, Min menciumnya. Mereka berciuman beberapa saat di bawah sinar bulan dan penerangan lampu kota. Keduanya saling tersenyum.


Min mengeluarkan kalung dari sakunya lalu memakaikannya di leher Se Yeon. Itu adalah kalung yang disukai Se Yeon di toko perhiasan.

"Tunggu. Bukankah ini...."

"Kamu cepat membalas dan tidak sabaran. Jelas sulit mengejutkan pacar jaksaku."

"Seharusnya beri petunjuk kalau kamu sudah menyiapkan ini. Aku pandai berpura-pura tidak tahu."

"Se Yeon-a."

"Ya."


"Kita harus... berhenti menjadi teman. Mari pacaran saja."

"Andai kamu berhenti setelah memberi kalung...."

Min langsung tergagap. "Apa itu buruk?"

Se Yeon mengangguk.


"Tunggu sebentar!" Min mengeluarkan ponselnya dan membuka catatannya. "Kamu harus menikmati waktumu sendiri selagi bisa... sebelum menikah."

Se Yeon ternganga dan tertawa mendengarnya.

"Apa itu juga buruk?" tanya Min.

"Itu sangat mengerikan."

"Tunggu. Aku menulis 25 kalimat."


Min membaca-baca lagi catatannya. Tiba-tiba Se Yeon meraih wajahnya lalu mengecup bibirnya.

"Terima kasih," ucap Se Yeon.


Min menatap Se Yeon. "Aku sungguh... aku sungguh menyukaimu, Se Yeon. Maukah kamu menjadi pacarku?"

Se Yeon mengangguk. "Ya tentu. Aku senang menjadi milikmu. Aku tak akan menolak lagi."


Min tertawa. "Bukankah itu terlalu cepat?"

"Dalam hal apa? Kita sudah saling menjauhkan diri selama 20 tahun. Saatnya saling mendekat. Boleh aku minum birmu? Punyaku sudah habis."

Min memberikan birnya sambil terus tersenyum lebar. Se yeon meminumnya.

"Ah! Beban besar sudah terangkat dari dadaku."


Se Yeon melihat ke langit. "Hei Min! Menurutmu alien itu sedang melihat kita sekarang?"

Min ikut memandang langit. "Mungkinkah? Dia merasa bertanggung jawab sejak memberikannya."

"Andai kita bisa mendapat Abyss lagi."

"Untuk apa?"

"Dengan ini, kita bisa hidupkan Steve Jobs atau Albert Einstein dan menjadi kaya," khayal Se Yeon.

"Ini sungguh Ko Se Yeon."

"Woi bukankah menyenangkan menjadi jutawan? Tidak ada yang kalahkan uang."

"Jutawan? Uang bukan segalanya."

"Lalu apa? Uang yang terbaik!"


Min menatap Se Yeon. "Kamu."

Se Yeon bergidik. "Astaga! Aku benci ini."

Min semakin menggodanya dengan berkata di telinga Se Yeon bahwa Se Yeon adalah segalanya baginya.


Se Yeon kabur dengan menenteng sepatunya. Min mengejarnya dengan terus berkata Se Yeon segalanya baginya.

Dari gazebo, tampak ahjussi pengumpul kardus tersenyum memperhatikan mereka.

Bersambung ke Abyss Episode 12 Part 3





1 komentar

Love love dimana manaπŸ’•πŸ’•πŸ’–


EmoticonEmoticon