He is Psychometric Episode 8 Part 2 (Drama Korea)

He is Psychometric
Episode 8 Part 2


Sumber konten dan gambar : TVN

HIS Episode 8 Part 1


Jae In dan Lee An terkejut melihat Ji Soo keluar dari lift. Ji Soo tak kalah kagetnya. "Kenapa kalian ada di sini?" Lee An dan Jae In saling pandang. Akhirnya mereka terpaksa menceritakan apa yang terjadi.

Jae In membungkuk minta maaf. "Jangan salah kan An. Ini ideku untuk datang ke sini."

"Bagaimana kamu tahu tempat ini berhubungan dengan pembunuhan koper?"

Jae In menjawab kalau secara kebetulan.

"Aku senang kamu tidak terluka. Ayo!" Ji Soo mengajak mereka pergi.

"Noona. Ada apa? Berteriaklah dan pukul aku seperti biasanya."


"Aku sangat ingin, tapi aku tidak bisa. Aku ingin terlihat terhormat di hadapan petugas Yoon."

"Di hadapannya? Kenapa?"

Ji Soo sempat bingung mau jawab apa. Dia akhirnya menjawab, "Apa yang aneh bagi seorang letnan ingin dihormati petugas baru."

"Tidak perlu repot. Dia jadi polisi karena naksir pada Noona."


"Maksudmu kamu menyukai wanita?"

"Apa?" Tanya Jae In.

"Heh. Merepotkan," gumam Ji Soo lirih. "Sudahlah ayo kita makan."

***

Det. Lee mengikuti Sung Mo. Dia sangat senang karena berhasil menyita data dari Dragon Head Hunting. Sung Mo menyuruh para bawahannya mencari apapun terkait Park So Young dan Kang Hee Sook terlebih dulu.

"Terlepas dari  Kim Gab Young. Ayo kita hancurkan geng itu," ajak Sung Mo pada Det. Lee.

"Baiklah. Ngomong-ngomong, dimana detektif Eun?"

"Kelihatannya kamu sibuk memperhatikan seseorang. Akan lebih bagus jika kamu menghindarinya sementara waktu."


"Kenapa?"

"Pikirkan baik-baik apa yang kamu lakukan yang membuatnya ingin meraih kerahmu." Sung Mo masuk ke ruangannya.

"Tidak mungkin. Apa dia mendengarku menggosipkannya?" Teriak Det. Lee.


Ji Soo, Jae In, dan Lee An makan di kedai tenda.

"Cepatlah makan! Aku harus kembali," ujar Ji Soo sambil sibuk dengan ponselnya.

Sontak Jae In buru-buru memakan mie nya sampai hampir tersedak.

"Pelan-pelan," kata Lee An. "Dia bahkan tidak akan berhenti bernafas karena kamu menyuruhnya untuk makan cepat," ucapnya pada Ji Soo.

"Oh maaf. Pelan-pelan saja," kata Ji Soo.

"Aku tahu Anda sibuk," ujar Jae In. Lalu pada Lee An dia berkata, "Dia menangkap banyak pria tadi. Dia harus menulis pernyataan dan memeriksa buktinya. Kamu juga harus makan."

"Aku mungkin sibuk. Tapi aku harus kembali karena ada seseorang yang harus aku kalahkan. Aku tidak suka pemfitnah."

"Ada orang yang berbuat lebih buruk dari kami?" Tanya Lee An lalu tertawa. Ji Soo pun tersenyum.

"Sudah berapa banyak kemajuan kalian berdua?"


Jae In yang hendak menyuapkan mie nya mendadak berhenti. Dia dan Lee An bertukar pandang.

"Berjalan dengan baik. Baik teori maupun praktiknya sudah bijak," jawab Lee An.

Lain halnya dengan Jae In, dia bilang belum banyak yang berkembang. "Anda tahu betapa tidak terduganya dia."

"Kemampuanku akan meningkat hanya dengan kebersamaan. Sudah ku katakan kan padamu bukan?" Lee An lalu berbisik pada Jae In. "Semakin dalam hubungan kita, semakin bagus kemampuanku (halah)."


Jae In menginjak kaki Lee An. "Ini bukan kontak fisik tidak terduga yang aku bicarakan," keluh Lee An.

"Kamu harus memberi lebih banyak kekuatan seperti yang sudah kamu pelajari di akademi polisi."

"Ya."


Lee An sontak menjauhkan kakinya dari Jae In. "Hei. Aku tidak tahu kamu tipe menyanjung. Betapa liciknya kamu!"

Jae In dan Lee An tertawa. Ji Soo memperhatikan interaksi di antara mereka. "Jadi mereka tidak tahu bagaimana mereka saling terhubung," kata Ji Soo dalam hati.


Sung Mo memeriksa barang-barang yang di sita dari kantor DHH. Dia kemudian turun dan berhenti di depan ruangan monitoring cctv. Sung Mo menatap pintu sejenak sebelum memutar handle pintunya.


"Jaksa Kang Sung Mo," panggil seorang petugas dari bagian cctv. Dia menyerahkan rekaman cctv yang Sung Mo minta. "Tapi kenapa Anda membutuhkannya setiap waktu?"

Sung Mo diam saja dan hanya menatap flashdisk di tangannya.


So Hyun membeli ayam goreng di restoran Pak Guru gendut. Melihat Eun Sol (anak So Hyun) yang tertidur di dalam mobil, Pak Guru gendut bilang seharusnya So Hyun pesan antar saja karena di luar sangat dingin.

"Hanya untuk setengah ekor ayam? Itu tidak ada apa-apanya untuk Bapak. Bahkan tidak cukup untuk membayar uang bensin Bapak."

"Khawatirkan saja dirimu sendiri. Bukan aku. Carilah seseorang untuk berkencan. Menjadi seorang ibu bukan berarti kamu salah."

Saat itulah tiba-tiba Dae Bong datang. "Zzzz dingin. Hai."


So Hyun sebal melihatnya. "Bisakah kamu berhenti menguntitku? Haruskah aku bilang aku terganggu olehmu dan aku membencimu supaya kamu mengerti?"

"Maaf."

So Hyun pergi meninggalkan Dae Bong yang sendu. Pak Guru gendut dan Dae Bong menatap kepergian So Hyun.

"Dia kenapa?" Tanya Pak Guru gendut lalu memberikan pesanan ayam goreng Dae Bong.


"Ini setengah ekor ayam kan?"

"Kamu kan kaya. Tidak bisakah kamu pesan satu ekor ayam saja?"

"Aku kan tidak membuat Bapak mengantarkannya."

"Aku tahu kamu datang sendiri ke sini karena aku isi bensin gratis kalau aku mengantarnya ke POM bensinmu." HAHA. "Orang kaya bahkan lebih keras."

"Ah itu tidak benar. Kalau Bapak datang lagi aku akan isi bensin Bapak secara gratis. Sebaliknya, jangan beritahu So Hyun kalau aku biasa datang ke sini." (Berarti Dae Bong nggak nguntit So Hyun tuh)

Pak Guru gendut sependapat denganku, hehe. "So Hyun pikir kamu menguntitnya. Dia bilang dia terganggu olehmu. Kamu harus selesaikan semuanya jika ada salah paham."

"Anda tahu dia sangat peduli dengan harga dirinya. Dia mungkin malu jika dia tahu dia salah paham. Jadi rahasiakan itu darinya.


Lee An mengantar Jae In pulang. "Aku akan datang besok pagi."

"Besok aku libur. Temui aku di tempat lain selain perpustakaan." Cieee kencan nih.

"Dimana?"

"Dimana saja yang tidak kamu suka."


Lee An bilang berarti tempat yang ramai. Bisa bioskop, taman hiburan, kembang api, atau restoran terkenal. Lee An tersenyum menggoda. "Kalau di pikir-pikir, itu semua tempat untuk kencan."

"Sampai jumpa,"balas Jae In lalu pergi.

"Selamat malam."

Lee An pergi dengan senyum mengembang di bibirnya.


Dan ternyata dari tadi Sung Mo memperhatikan mereka dari dalam mobilnya yang terparkir di tikungan. Setelah Lee An pergi, dia turun dan memperhatikan Jae In.

Dari atap sebuah gedung, pria bermasker mengawasi Sung Mo dan Jae In.


Bibi menempelkan selebaran kursus bernyanyi, gitar, seni kawat, dan yoga, di tiang listrik. Pak Nam lewat dengan sepedanya. "Haruskah aku berlatih bermain gitar lagi?"

"Astaga. Kamu mengagetkanku."

Pak Nam menyanyikan lagu yang sepertinya dulu pernah dia nyanyikan untuk Bibi. Bibi berjalan pergi dan Pak Nam mengekorinya. Pak Nam menawari bibi untuk membonceng karena dia juga akan ke pusat keamanan.

"Kamu g*la? Kenapa aku harus naik sepedamu? Kamu bahkan bukan siapa-siapa."

Bibi langsung melenggang pergi. Pak Nam membenarkan kalau dia bukan siapa-siapa. "Aku menandatangani surat ceraiku beberapa waktu lalu."


Bibi berhenti. "Apa yang kamu katakan di belakangku? Itu menyinggungku. Kamu menjelekkanku kan?" Bibi melanjutkan langkahnya. Pak Nam mengayuh sepeda mendahuluinya sambil 'merampas' keranjang bawaan bibi.

"Sampai jumpa lagi."

"Omo!! Pencuri!! Astaga dia sangat aneh."


Jae In bercermin lalu memoleskan lipstik di bibirnya. Sesaat dia tersadar. "Apa yang aku pakai?" Dia menatap bayangan wajahnya di cermin. "Masih terlihat cantik." Jae In lalu teringat kata-kata Lee An di rooftop kemarin.

"Kenapa dia selalu berterus terang? Dia membuatku semakin sulit untuk menyentuhnya."


Lee An sendiri bercermin melalui kaca di bingkai foto dia dan Sung Mo. "Tampan sekali." Dia lalu menuangkan makanan untuk putih salju. "Sampai jumpa lagi. Jagalah rumah. Jika ada orang asing yang masuk rumah lagi, pastikan kamu melihat wajahnya. Jangan menggonggong padanya karena kamu tidak akan menang."


Lee An menepuk kepala Putih Salju. "Lihat saja wajahnya dan aku akan menepukmu dan mencari tahu siapa dia. Kau mengerti?"

Baru beberapa langkah, Lee An dapat pesan teks dari Jae In. "Kita batalkan kelas hari ini. Belajarlah dengan giat sampai aku menghubungimu."

Lee An langsung menelepon Jae In. "Mana bisa begitu. Katamu kita berlatih di luar ruangan hari ini."


Kata Jae In, mereka akan berlatih setelah melalui semua teori. Jae In menutup teleponnya. Dia lalu menutup buku catatan Sung Mo. Sepertinya dia habis membacanya. "Dia cerdas sekali," gerutu Jae In. (Oh. Jae In takut di baca Lee An ini mah)

Lee An keluar dari kamarnya sambil menggerutu. "Aish! Semua harapanku yang tinggi berjalan selaras."


"Maksudmu sia-sia,"Sung Mo membetulkan ucapan Lee An. Dia lalu minum air obatnya. "Jangan gunakan kata-kata. yang tidak kamu tahu. Kenapa memilih terdengar bod*h secara sukarela."

Lee An tidak mempedulikannya. Dia lebih memperhatikan Sung Mo yang minum obat. "Kakak sering meminumnya."

"Ini untuk sakit kepalaku. Ku dengar kamu dan petugas Yoon berada di tempat kami menyerbu kemarin."

Lee An mengeluhkan Ji Soo yang tidak bisa jaga rahasia. Sung Mo bilang dia meminta Jae In untuk membantu Lee An, bukannya bergabung dalam petualangan nekadnya. Sung Mo tersenyum lebar. Lee An sampai heran melihatnya.


"Kakak barusan tertawa? Kakak bilang padaku harusnya aku tidak meninggalkan batu tanpa terlewat. Tapi kenapa kamu terlalu lunak jika mengenai Yoon Jae In?"

"Apa aku tersenyum?"

"Ya, benar. Dan senyummu lebar sekali."

Sung Mo mengalihkan percakapan. "Aku akan sibuk jadi aku tidak pulang hari ini. Jangan meneleponku untuk merengek padaku."

"Setidaknya kakak tidur di rumah. Para penghuni merasa aneh jika kakak tidak ada di sini."

"Penghuni mana maksudmu?"

"Mereka pikir kita sudah putus atau aku selingkuh darimu." Lee An berusaha menahan tawanya.


"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Aku pergi."

"Hyung. Bisakah aku baca buku di kamarmu?"

Sung Mo menatap Lee An. "Sekali lagi aku tidak paham yang kamu ucapkan." Dia pun pergi. Lee An melambai padanya.


Sung Mo keluar dari apartemennya lalu berjalan menuju lift. Dia menekan tombol buka. Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Sung Mo menatap bayangan dirinya dari cermin di dalam lift. Dia sepertinya menyadari sesuatu dan membiarkan pintu lift tertutup kembali. Dia berjalan kembali ke depan apartemennya.

Sung Mo melihat kamera kecil yang terpasang di bingkai lampu di plafon. Dia menatap ke arah kamera itu.


"Aku tahu kamu sedang menonton." Benar memang. Pria bermasker sedang melihatnya melalui ponsel pintarnya. "Aku juga tahu apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini dan apa yang kamu rencanakan. Aku tahu semuanya."

Pria bermasker yang saat ini tidak sedang bermasker menjawab, "Tentu. Kalian akan tahu. Sejak awal, salah satu dari kita harus mati agar permainan ini dapat selesai."

Seolah saling bersahutan, Sung Mo berkata, "Jika itu satu-satunya cara untuk menghentikanmu, maka itulah yang akan ku lakukan."


Sung Mo mengambil kamera itu. Pria bermasker melonggarkan kerah jaketnya lalu melempar ponselnya ke dalam bara api. (Harusnya buat aku aja Pak)

Bersambung ke He is Psychometric episode 8 part 3


EmoticonEmoticon