He is Psychometric Episode 12 Part 3

He is Psychometric
Episode 12 Part 3
Sumber konten dan gambar : TVN

Jae In masih sibuk searching tentang kasus orang-orang yang tidak terdaftar kewarganegaraannya. Sementara Lee An duduk di meja sambil memperhatikan pola yang mereka buat. "Pak Nam bertingkah aneh kan?" Tanya Lee An.

JAe In membenarkan. Dia menduga Pak Nam tahu sesuatu tentang kasus kebakaran. An mengungkit Jae In yang dipindah ke sini setelah Pak Nam memergokinya memeriksa berkas kasus pembakaran. Awalnya Jae In mengira Pak Nam hanya bersimpati padanya makanya dia juga membiarkannya tinggal di pusat keamanan. Tapi sepertinya bukan itu alasannya.

Lee An berdiri. "Bagaimana jika dia menginginkanmu untuk berhenti mencari kasus itu lagi.

***

"Kamu tidak tahu apa-apa saat menggerebek tempat perdagangan manusia itu? Aku yakin kamu mendengar rumor tentang konstruksi YSS," kata Pak Nam.

"Ya. Tapi itu tidak di sebutkan dalam artikel berita manapun," jawab Ji Soo.

"Itu karena konstruksi YSS memiliki politisi dan polisi sebagai pegangannnya. Mereka bukan perusahaan yang bisa kamu lawan.

Ji Soo bertanya apa hubungan konstruksi YSS dengan kasus yang sedang dia selidiki. Pak Nam memberitahu sebelum konstruksi YSS menjadi perusahaan besar seperti sekarang, dulunya di sebut konstruksi Yoengseong.

"Komplek Apartemen Yeongseong tidak menyediakan jalan yang semestinya untuk membiarkan truk pemadam kebakaran berjalan yang mengakibatkan banyak korban. Tidak ada yang tertarik dengan itu. Kenapa? Karena mereka diberi cerita yang jauh lebih segar."

"Tidak mungkin."

"Pahlawan yang menyelamatkan nyawa mereka, ternyata adalah pelakunya. Skenario yang dibuat sendiri. Apa yang bisa lebih menghibur dari itu?"

"Jadi supaya bisa menutupi kasus ini dengan cepat, ayahku sengaja menjebak Yoon Tae Ha? Itu tidak mungkin."

"Kamu mungkin tahu ini. Tapi ayahmu naik pangkat dengan cepat setelah kasus itu. Dan dia sekarang menjadi komisaris polisi. Menurutmu, bagaimana arti dari semua itu?"

Ji Soo tertegun mengetahui kenyataan tentang apa yang telah ayahnya lakukan. Dia ingin untuk tidak mempercayainya. Tapi semuanya terasa masuk akal.

Ji Soo segera pulang tanpa kembali ke pusat keamanan. Dia memarkirkan mobilnya tidak jauh dari rumahnya dan melihat ayahnya yang baru pulang di antar seorang pria berjas hitam. Ji Soo mengingat ucapan Pak Nam padanya. "Menjadi seorang detektif adalah alasan yang cukup bagimu untuk melihat pembakaran Apartemen Yeongseong. Jaksa mempunyai alasan yang melibatkan ibunya. Tapi sebagai putri Eun Byung Ho, jangan melangkah lebih jauh. Karena kamu akan menargetkan Eun Byung Ho, ayahmu sendiri." Ji Soo benar-benar dilema.

An membantu Jae In menutup kantor pusat keamanan. Mereka pun berjalan keluar. An menggenggam tangan Jae In. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Kenapa repot-repot. Aku kan tinggal disini."

"Aku hanya bisa tenang saat aku bisa melihatmu. Ah. Ku harap aku bisa mengantarmu pulang."

"Kenapa aku harus mampir ke rumahmu. Tunggu! Barang-barang di kamar Jaksa Kang, bukankah itu semua terkait dengan kasus ini?"

"Ya. Kurasa begitu."

"Ayo kita ke rumahmu!"

***

Ji Soo masuk ke rumahnya. Ternyata Pak Eun sudah menunggunya di ruang tamu. Dia menyuruh Ji Soo duduk dan mengajaknya bicara. Ji Soo pun duduk di sofa di depan ayahnya. "Kapan kamu akan berhenti melakukan apa yang kamu inginkan? Menurutmu kamu bisa menangani kasus yang kamu inginkan lalu pergi? Hidup dalam masyarakat berarti mengikuti aturan dan prinsip." Ji Soo hanya menunduk tanpa melihat ayahnya bicara. "Kamu bertingkah seperti itu karena ayah mendukungmu?  Kembaliah ke timmu besok! Detektif Lee akan mengambil alih kasus penculikan di Pusat Keamanan Komunitas Seohun."

Ji Soo mendongak menatap ayahnya. "Ayah! Kenapa ayah melakukan itu? Ayah pikir sebuah istana yang dibangun di atas pasir akan bertahan?"

"Apa yang kamu bicarakan?"

"Apa ayah ingin aku memberitahu ayah apa yang ayah sembunyikan selama bertahun-tahun?"

Pak Eun masih saja menyangkal. "Ayah tidak tahu apa maksudmu." Pak Eun beranjak dari duduknya.

"Aku tahu semua tentang kebakaran Apartemen Yeongseong. Dan juga, tentang konstruksi YSS. Semuanya."

Pak Eun berbalik. "Eun Ji Soo."

Ji Soo berdiri. "Biarkan aku membuka kembali kasus itu secara resmi. Itu hal terbaik yang bisa ayah lakukan."

"Itu sudah berlalu."

"Tidak!  Itu terjadi sekarang. Ayah tahu apa yangs sedang dilakukan orang yang ayah sakiti  sekarang? Jika ayah menyelidikinya dengan benar,,,," Ji Soo tidak mampu melannjutkan kalimatnya.

"Meski ayah harus kembali, Ayah akan membuat pilihan yang sama."

"Bagaimana bisa ayah bilang begitu?"

"Itu yang harus Ayah lakukan untuk menyelamatkanmu." Ji Soo tertegun. "Beberapa kali dalam setahun, kamu pingsan karena jantungmu yang sakit. Ayah terlalu lemah dan malang untuk memberikan perawatan. Aku membenci itu lebih daripada kematian."

Mata Ji Soo berkaca-kaca. "Ayah melakukan itu karenaku?"

"Kalau kamu tidak mau kembali, silahkan mengundurkan diri. Ayah tidak akan membiarkanmu melakukan ini lagi."

Pak Eun pergi meninggakan Ji Soo yang termangu mendapati dirinyalah penyebab ayahnya melakukan perbuatan yang menyakiti banyak orang. Ji Soo terduduk di kursi dan menangis.

***

Lee An membukakan pintu apartemennya untuk Jae In. Begitu masuk, An langsung menggendong si Putih Salju. "Apa Dae Bong oppa memberimu makan? Apa kamu takut sendirian?"

"Bagaimana kalau aku yang menjaga Putih Salju. Aku kan tinggal bersama bibiku. Putih Salju akan merasa kesepian karena kamu sibuk."

"Bnarkah?"

Jae In menggendong Putih Salju. "Kamu boleh pulang bersama Eonni nanti,"

Jae In dan An masuk ke kamar Sung Mo. An sempat memperhatikan burung peliharaan Sung Mo sejenak. Dia dan Jae In lalu membawa berkas-berkas kasus yang pernah Sung Mo tangani ke ruangan depan. "Ngomong-ngomong apa sesuatu di sini benar-benar terkait dengannya?" Tanya Lee An.

"Dia membawa pulang ini semua. Itu berarti kasus-kasus ini cukup mengganggunya. Pasti ada sesuatu." Jae In mulai memeriksa berkas-berkas di depannya. An pun ikut membaca. Tapi baru beberapa detik dia sudah menyerah karena banyak bahasa hukum yang sepertinya dia tidak mengerti. "Ah mataku redup. Aku harus menyegarkan diri." Jae In hanya bisa tersenyum melihatnya. An beralasan kalau dia sudah memaksakan diri hari ini dan bukan berarti dia tidak mengerti. Jae In mengiyakan saja.

"Ini bukan keahlianmu. Jangan mencoba mengambil pekerjaanku," canda Jae In.

An tersenyum. "Bukankah kamu merasa tidak nyaman?"

"Tentang apa? Sendirian denganmu? Tidak juga. Pekerjaan adalah pekerjaan. Privasi adalah privasi. Aku cukup pandai menggambar garis."

Eng ing eng. An tersenyum miring. "Maksudku pakaianmu."

"Oh."

"Bukankah tidak nyaman bekerja sepanjang malam dengan pakaian itu?"

"Apa aku bisa ganti baju di sini?"

***

Pak Guru Gendut sedang mengoceh sendiri di depan pintu restorannya. "Apa itu? Ini seperti ketenangan sebelum badai. Seolah-olah kelompok besar akan menerobos masuk saat aku belum siap."

Dae Bong menyahut dari dalam. "Jika bukan karena kami para alumni, Anda sudah lama gulung tikar."

Karyawan Dae Bong ikut menyahut, "Kenapa? Aku suka ayam buatan Anda."

Dae Bong memukul meja. "Jangan memujinya. Itu akan masuk ke dalam kepalanya. Cepatlah makan dan mulailah bekerja paruh waktu."

"Bagaimana denganmu?"

Pak Guru gendut yang menyahut. "Dia tidak pergi. So Hyun akan segera datang untuk ayamnya." Pak guru mendekati Dae Bong. "Hei Dae Bong. Ikuti dia kemanapun jika kamu bisa mendukungnya. Tapi jika kamu tidak serius, berhentilah sekarang! Bisakah kamu meyakinkan ayahmu untuk menerima So Hyun? Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan beberapa club golf," ucap Pak Guru dengan nada tinggi.

"Cukup," kata Dae Bong lirih.

"Setelah itu kamu bersenang-senang dan tertawa. Apa begitu? So Hyun jadi kesulitan karena itu. Secara moral kamu menyebalkan. Jika apa yang kamu pikirkan,,,"

Dae Bong yang kesal meletakkan gelasnya ke meja dengan keras. Dia lalu mengajak pegawainya pergi. Tapi dia berbalik dan mengatakan, "Pak! Aku hanya ingin membuatnya tertawa. Tidak bisakah aku melakukannya?"

Dae Bong pun pergi. Pegawainya menyusulnya dan menyuruhnya menegakkan badannya. "Kurasa kamu sangat menawan. Kamu imut, baik, dan kaya."

"Kamu menyukaiku karena aku penurut. Bukan sebagai pria."

"Siapa peduli jika dia punya anak? Ayahku juga ayah tiri dan dia sangat baik padaku."

Dae Bong menghentikan langkahnya. "Ayah tiri? Aku tidak bermaksud. Aku tidak berani menikahi So Hyun."

"Kenapa tidak bisa. Pasti bisa jika kamu mencintainya. Hei! Mobil Itu. Bukankah itu dia?" Si pegawai menunjuk mobil So Hyun yang melaju menuju restoran ayam Pak Guru gendut. Dari dalam mobil, So Hyun pun melihat mereka berdua.

Dae Bong terus memperhatikan mobil So Hyun. Tapi pegawainya menggandengnya dan melarangnya berbalik. Dae Bong melepas gandengan tangannya. "Jangan. Nanti dia bisa salah paham."

"Kamu tidak tahu apa-apa tentang wanita. Seorang pria yang menghampiri wanita tidak menarik."

So Hyun turun dari mobilnya. Dia mendengar Dae Bong yang berkata minta di lepaskan. So Hyun berhenti sejenak dan memperhatikan bos dan pegawai yang sedang eyel-eyelan (?). Setelah itu dia berjalan pergi.

Dae Bong keukeuh tidak setuju dengan pegawainya. "Aku tidak mau hatinya hancur hanya untuk memenangkan hatinya." Dae Bong menyusul So Hyun.

"Apa aku membuatmu kesulitan? Jika aku terus berada di sekitarmu membuatmu muak, katakanlah padaku. Aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi."

So Hyun menekan perasaannya. "Ya. Aku tidak suka."

Mata Dae Bong berkaca-kaca. Tapi dia berusaha tersenyum. " Baiklah. Aku mengerti." Dae Bong pun pergi meninggalkan So Hyun yang sepertinya merasa bersalah.

***

Jae In sudah berganti baju. Entah bajunya sendiri atau bajunya An. Tapi kayaknya bajunya sendiri soalnya warnanya pink. Dia masih sibuk memeriksa berkas-berkas. Dia bicara pada An kalau dia menemukan data yang lebih relevan dari yang dia harapkan. An diam saja tidak menyahut. Jae In menoleh dan mendapati An yang tertidur pulas di sofa. Dia tersenyum tipis lalu beranjak dari duduknya dan menyelimuti An. "Pasti sulit mencoba membaca sesuatu yang bahkan tidak kamu ketahui." Jae In kembali menekuri tumpukan berkas-berkas di atas meja.

Di dalam mimpinya, An melihat Sung Mo kecil yang menusuk perut kiri Kang Geun Taek dengan pisau. Kang Eun Joo memanggil Sung Mo dengan ketakutan.

Kang Geun Taek menatap Sung Mo. "Jika kamu ingin membunuh seserang dengan ketinggian sependek itu, kamu seharusnya tidak menusuknya di sini. Tapi di sini," ucap Kang Geun Taek sambil menunjuk perut bagian kanannya. "Kamu seharusnya menikamku di sini." Sung Mo kecil berubah menjadi Sung Mo dewasa.

Jae In memanggil-manggil Lee An berusaha untuk membangunkannya karena Lee An tampak gelisah dalam tidurnya. An membuka matanya. "Kamu tidak apa-apa? Kamu mengalami mimpi buruk?"

"Apa itu mimpi? Rasanya seperti sedang melakukan psikometri."

"Apa itu?"

An bangun. "Di ruang bawah tanah itu, Hyung menikam pria itu."

"Ini karena kamu melihat terlalu banyak visi yang mengejutkan hari ini."

"Begitukah?"

Jae In menyuruh An tidur di tempat tidur supaya dia bisa melakukan kemampuannya lagi besok. Sementara dia mau pulang. An berdiri dan memutuskan untuk mengantar Jae In pulang.

Bersambung ke He is Psychometric episode 12 part 4

2 komentar

Kejar deadline nih ceritanya...
Semangat...😇💪


EmoticonEmoticon