He is Psychometric Episode 8 Part 4 (Drama Korea)

He is Psychometric
Episode 8 Part 4


Sumber konten dan gambar : TVN

HIS Episode 8 Part 3


Lee An dan Jae In masuk ke kamar Lee An. Lee An membersihkan tempat tidurnya dan berkata Jae In boleh duduk di sana.

"Jika kamu malu karena ini pertama kalinya kamu berkunjung ke kamar seorang pria, peganglah ini," ucap Lee An sambil menyodorkan boneka abu-abunya.

Jae In mengambil boneka itu. "Aku tidak bilang ini pertama kalinya." Toeetttttttt


Lee An kaget. "Ini bukan pertama kalinya bagimu?" Jae In diam saja. "Yah, aku bukan tipe orang yang terganggu dengan hal seperti itu. Seperti yang kamu tahu aku punya kemampuan untuk membaca kenangan orang lain. Jadi aku sangat murah hati terhadap masa lalu wanita." Wkwkwk ngomongnya murah hati tapi ekspreasinya ngambek.

"Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya pergi ke kamar Jaksa Kang."


Lee An langsung sumringah. "Ah ya. Baguslah."

"Ini kebalikan dari kamar Jaksa Kang," komentar Jae In. "Tidak ada buku di sini."

Lee An menunjuk mejanya. "Ada di situ." Doenggg. Ternyata cuma kamusnya Sung Mo.

Jae In membukanya dan melihat tulisan yang distabilo. "Kamu belajar dengan giat. Mengesankan."

"Itu Hyung yang mencatatnya."

"Ini punya Jaksa Kang? Aku tidak tahu dia orangnya rajin. Tiba-tiba aku merasa dekatnya." Lee An langsung meliriknya. "Apa yang kamu baca dari buku ini?"

"Perasaan, cinta, bahagia, sedih, menyakitkan. Apa orang pintar juga menggarisbawahi kata-kata mudah seperti itu?"

"Bukan. Maksudku, apa kamu bisa membaca ini? Jaksa Kang pasti menghabiskan banyak waktu dengan ini."

"Tidak ada."

"Tidak ada?"

"Jangan membuat kekecewaanmu terlalu jelas. Itu membuatku malu."

"Sentuh setiap kata di kamus ini seolah-olah kamu sedang membaca buku braille (buku untuk tunanetra)."


Jae In menyerahkan kamus pada Lee An. "Ini seperti menangkap dua burung dengan satu batu. Pelajari dan praktikkan kemampuanmu secara bersamaan. Katakan padaku jika kamu melihat sesuatu."

"Setiap kata?"


Sung Mo menemukan tempat markas pria bermasker. Dia memungut ponsel yang sudah hangus terbakar. Sung Mo lalu menelepon seseorang.

"Aku akan mengirim ponselnya padamu. Tolong minta pusat digital forensik nasional untuk mengidentifikasinya."


Ji Soo membaca laporan hasil otopsi dari dr. Hong sambil makan mie cup. Dia menyimpulkan ada kesamaan dalam kasus Yoengsoeng, rumah perawatan Hanmin, dan pembunuhan Kim Gab Young. Penyebab kematian semua korban adalah luka di perut kanan mereka.

Dr. Hong menimpali, "Dan anak psiko itu juga di tikam."

"Benar. Mereka semua ditikam di area yang sama. Jika kita punya mayat Kim Gab Young, aku akan meminta An untuk membacanya. Tapi tubuhnya dikremasi."

Dr. Hong tersenyum miris. "Sejak kapan kamu lebih mengandalkannya daripada aku? Jika kami punya mayatnya, aku akan mencoba mencari sesuatu darinya. Bagaimana bisa kamu memikirkannya lebih dulu?"

"Bukan begitu. Hanya saja dia membantu kita dalam kasus tempo hari.

***

Lee An mencoba berkonsentrasi 'membaca' kata menyayangi yang di stabilo di kamus Sung Mo. Tapi hasilnya nihil. Menurutnya mustahil membaca itu karena kamus itu sepertinya sudah tua.


Dia mencoba mencari halaman lain dan tertegun saat melihat tulisan di halaman pertama.

Untuk Sung Mo tercinta
Dari Ibu

"Ini hadiah dari ibunya."


Lagi-lagi Sung Mo berdiri di jembatan penyeberangan. Dia mendapat telepon dari petugas digital forensik kalau dia sudah mengirim email hasil pemulihan data dari ponsel pria bermasker.

Sung Mo langsung memeriksa email melalui ponselnya. Di sana, banyak foto-fotonya, termasuk saat dulu Ji Soo ngajak pacaran.

Ji Soo sendiri sedang menceritakan apa yang Sung Mo katakan padanya tadi di kantor. Dr. Hong sangat terkejut mendengarnya. Dia meminta Ji Soo benar-benar memikirkan perkataan Sung Mo. Bukan tentang betapa Sung Mo menghargai Ji Soo. Tapi tentang kemungkinan pria bermasker menghancurkan Ji Soo juga.

"Aku tahu itu," ucap Ji Soo sambil tersenyum.

"Ini bukan waktunya tersenyum," kata dr. Hong yang jelas mencemaskan keselamatan Ji Soo.

Ji Soo menatap dr. Hong. "Pria berhati dingin itu mengatakan hal seperti itu padaku. Tidak bisakah kamu membiarkan hatiku berdebar hanya selama dua jam?"

Dr. Hong bilang bukan waktunya untuk itu.


"Dr. Hong. Jika seseorang yang berharga bagi Jaksa Kang akan berada dalam bahaya, tapi itu bukan aku."

Sung Mo terus men-scroll emailnya ke bawah. Ada foto Jae In dengan seragam sekolahnya dan saat Jae In bekerja di mini market. Juga Jae In yang ada di pusat keamanan Seo Hun.

Ji Soo menjelaskan kalau sepertinya dia tahu alasan Sung Mo meminta Jae In melatih An.


Saat melihat foto-foto Jae In, tangan Sung Mo gemetaran.

"Yang ingin Jaksa Kang lindungi, adalah perempuan itu."

Sung Mo menjatuhkan tangannya yang memegang ponsel. Wajahnya jelas menyiratkan kecemasan.


Pak Nam duduk di kursinya dan melihat monitor komputernya. Dia heran saat mendapati salah satu kamera cctv yang berada tepat di depan pusat keamanan Seohuen ternyata tidak berfungsi. Dia langsung mengeceknya dan ternyata kabel cctv nya putus.


Jae In yang baru pulang bertanya Pak Nam sedang apa di sana. Pak Nam memberitahunya kalau ada orang yang merusak kamera cctv.

"Aku akan menelepon pusat layanan untuk memperbaikinya besok," ucap Jae In.

"Berandalan mana yang melakukan hal seperti itu? Ini memang pusat keamanan, tapi masih kantor polisi. Beraninya dia memotong kawat yang ada di gerbang depan."

Mereka pun masuk ke kantor. Jae In melintasi kelas bibinya. Karena terlihat ramai, diapun masuk dan melihat ibu-ibu yang sedang mengerumuni seorang pria yang sedang merangkai kawat menjadi bentuk dedaunan. Semuanya memuji pria itu yang sangat pandai dalam seni kawat. Jae In pun ikut memujinya.



Bibi melihat luka di pipi pria itu yang sedikit berdarah karena tergores kawat. Dia menyuruh Jae In pergi ke kamar untuk mengambil plester dan salep.


Pria itu menoleh pada Jae In. "Aku akan sangat senang jika kamu mau melakukan itu untukku." (Omo! Pria bermasker akhirnya merilis dirinya di pasaran)

Jae In mengiyakan dan langsung pergi.

***

Lee An mencari kata dalam kamus untuk dia 'baca'. Dia tertarik pada kata menyakitkan.


"Oke." Lee An melemaskan jari-jari tangannya lalu menyentuh kata itu. Dia memejamkan matanya sementara Putih Salju duduk di sofa memperhatikannya dari belakang punggungnya.

Kali ini Lee An berhasil dengan psikometrinya. Dia mendengar suara ibu Sung Mo.


"Sung Mo. Menyakitkan adalah emosi yang kamu rasakan saat luka berdarah. Ibu sudah memberitahumu saat kita belajar 'rasa sakit'."

"Aku tidak keberatan kalau luka berdarah. Itu tidak sakit," ucap Sung Mo kecil.

"Tapi bagi orang lain itu sakit. Itu sebabnya kamu seharusnya tidak menyakiti orang lain."

"Kalau begitu, bagaimana dengan membunuh orang?" Ibu Sung Mo terkejut mendengar pertanyaan anaknya. "Ketika Ibu mati maka rasa sakit dan semua emosi itu akan hilang."


Ibu Sung Mo cepat-cepat berkata tidak boleh. "Kamu tidak akan boleh melakukan hal itu. Itu akan membuatmu jadi orang yang sama dengan orang itu. Jika itu terjadi, kamu akan akan menyakiti Ibu."

"Meski Ibu tidak akan berdarah?"

"Ketika datang ke 'rasa sakit', luka di tubuh akan berkurang dari derita dari hati."


Lee An sedikit tersentak saat membuka mata. Dia reflek memegang dadanya. Lee An lalu menutup kamus dan pergi keluar dari apartemen. Dia berhenti sejenak di lobi saat ingat kata-kata ibu Sung Mo.

"Orang itu?"

***

Jae In hanya berdua saja di depan kelas. Dia memberikan plester pada pria bermasker.

"Lukanya sepertinya agak dalam. Apa tidak sakit?"

"Aku tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, Anda berasal dari sini?"

Terlihat Lee An berlari kencang di trotoar.

"Benar. Aku juga petugas di pusat keamanan ini," jawab Jae In.

"Aku tahu. Aku melihatmu berpatroli di wilayah itu."

"Kelihatannya Anda seperti tidak asing. Kapan Anda pindah ke kota ini?"

Si pria bermasker diam saja sambil menatap Jae In. Jae In mengatakan kalau lingkungan di sana kecil jadi dia sadar tentang sebagian besar penduduk.

Tiba-tiba Lee An masuk. "Yoon Jae In!"

Jae In dan pria bermasker sama-sama menoleh. Pria itu pun pamit pergi. Lee An menempel ke tembok saat pria itu melewatinya.

Lee An menghampiri Jae In. Dia bilang dia melihat sesuatu. "Dari kamus, aku bisa melihat Sung Mo."

Pria bermasker mendengar ucapan Lee An.

"Diam. Tidak perlu bicara di sini. Ikut aku," ajak Jae In. Merekapun pergi. Pria bermasker menoleh ke arah mereka.


Ternyata di luar sedang turun salju. Lee An dan Jae In duduk di ayunan di taman. Mereka menutupi kepala mereka dengan tudung hoodie masing-masing. (Ngapain coba dingin-dingin malah di luar)

"Jadi kamu melihatnya di kamar gelap?"

"Hmmm."

"Dia sedang mempelajari kamus."

"Tepat sekali. Di kamar yang gelap dia duduk bersama ibunya. Mereka mempelajari kata 'menyakitkan'."

"Kenapa mempelajari kata seperti itu di kamus?"

"Aku merasa ada yang aneh. Jadi aku berlari kemari. Aku membacanya sedangkan kamu berpikir."

"Tunggu sebentar. Kamu tidak bisa menyimpulkan jawaban dariku. Aku butuh waktu untuk berpikir. Jadi apalagi yang kamu lihat?"

"Tidak ada," jawab Lee An santai.

"Ha?? Kamu berlari kesini setelah melihat hal itu?"

Lee An beralasan kalau Jae In sendiri yang bilang untuk memberitahunya. (Kan bisa chat atau telepon atau video call aja An sayang)

Sung Mo sedang berdiri menatap kamera pusat keamanan yang rusak. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke kantor pusat keamanan.


"Kalau saja Hyung bisa memberitahuku. Hah! Ini terlalu sulit," keluh Lee An.

"Bagaimana jika Jaksa Kang tidak menunjukkan apa-apa karena dia tidak bisa?"

"Apa?"

"Meski sudah waktunya bagi anak ayam untuk menetas, terkadang juga tidak bisa. Namun, jika dia melewatkan waktunya untuk menetas, pasti akan mati. Jika orang lain memaksanya dari luar, akan mati juga."

"Ada apa dengan analoginya?"

"Begini. Maksudku kamulah yang perlu membantunya untuk menetas."

Lee An bilang dia menghargai Jae In yang berpikiran tinggi tentangnya. Tapi dia ragu Sung Mo punya pikiran yang sama.

"Tidak. Dia ingin kamu jadi satu-satunya juga." Lee An menoleh menatap Jae In. "Seperti aku memilihmu, Jaksa Kang juga memercayaimu dan menunggumu."

"Mengatakan hal yang bagus itu, dimana kamu mempelajarinya?"

"Apa?"

"Biarkan aku membaca buku lagi. Aku ingin mempelajari paragraf yang membuat hatimu juga berdebar."


Mereka berdua tersenyum. Lee An melihat tangan Jae In yang tampak kedinginan. Dia bilang menyilangkan lengan bisa membantu.

Jae In bertanya dengan polosnya. "Lengan kita?"

Lee An mengernyit. "Tidak bisa di percaya." Lee An menunjukkan lengannya yang sedari tadi bersidekap di dada. "Menyilangkan lengan seperti ini. Bukan kita yang harus menyilangkan tangan."


Jae In langsung ngeles. "Aku tidak pernah bilang begitu."

Lee An jelas tersenyum melihat tingkahnya. Dia melihat tali sepatu Jae In yang terlepas lalu mendekat berusaha membetulkannya. Tapi Jae In langsung memundurkan kakinya. Lee An tampak kecewa dan terluka.

"Maaf. Itu tadi reflek," ucap Jae In.


Lee An berdiri lalu menengadahkan tangannya ke atas. "Hah! Aku suka salju. Aku bisa menyentuhnya tanpa membaca dan tidak memiliki kenangan yang menyakitkan. Itu juga tidak menyulitkan pikiranku. Yang paling aku sukai tentang itu,,,," Lee An menatap tangannya. "adalah bahwa aku tidak perlu izin untuk menyentuhnya."


Tiba-tiba Jae In mendekat dan menautkan jari-jemarinya ke tangan Lee An. Seketika terputar semua memori kebersamaan mereka di penglihatan Lee An.


Lee An tertegun menatap tangannya yang bersatu dengan tangan Jae In.

"Aku ingin tahu apa hal seperti ini bekerja."

"Asal kamu tahu. Aku menemukan semuanya. Tentang perasaanmu."


Lee An menarik Jae In lalu menci*um bibirnya. Sebelah tangan mereka masih saling terpaut. Salju yang turun di malam yang gelap menjadi latar belakang kisah mereka.


Jae In tak lagi mendorong Lee An tapi Lee An sendiri yang melepaskan diri. Dia lalu berlutut dan membetulkan tali sepatu Jae In. Dia bisa melihat saat ayah Jae In melakukan hal yang sama, dulu.

"Jangan lari lagi, atau menangis sendiri." Lee An berdiri menatap Jae In.


"Masa lalu yang membuatmu ingin lari, aku akan membaca dan melihat semuanya."

Bersambung ke He is Psychometric episode 9 part 1

Komentar :

Kok aku berdebar-debar ya. Hadeh!!! Menurut kalian, pria bermasker itu ayahnya Sung Mo bukan?

Aku kok yakin ya kalo Sung Mo itu mengidap Alexithymia alias ga bisa merasakan emosi. Makanya dia butuh Lee An buat membacanya. Dan sebenarnya, mungkin dia butuh cinta buat bikin dia sembuh (emang penyakit?). Contohnya aja, dia itu bisa sayang sama Lee An karena Lee An juga sayang sama dia. Waktu sama Lee An dia bisa ketawa. Dan juga dari Jae In. Dia kayaknya sayang sama Jae In makanya dia senyum lebar waktu ngebahas Jae In. Dan mungkin, Jae In lah orang yang pertama berhasil membuat dia tersenyum. Ingat kan waktu Jae In kecil dan Sung Mo duduk di bawah pohon natal. Jae In menunjukkan senyum cantiknya dan Sung Mo tersenyum walaupun tipis banget. Mungkin itu juga sebabnya makanya dia care banget sama Jae In.

Padahal aku ngarepnya nggak ada cinta segitiga di antara mereka. Apa pengennya Sung Mo sama Ji Soo aja.




3 komentar

Makin seru ceritanya...kayaknya emang pria bermasker ayahnya seung mo...ada cinta segitiga juga yah...tapi udah keliatan klo jae in ama lee ahn yg saling cinta...gawat juga klo sampe pria bermasker celakain jae in karna tau seung mo sayang ama jae in...di tunggu sinopsis lainnya...semangat...😊

Makin seru ceritanya...kayaknya emang pria bermasker ayahnya seung mo...ada cinta segitiga juga yah...tapi udah keliatan klo jae in ama lee ahn yg saling cinta...gawat juga klo sampe pria bermasker celakain jae in karna tau seung mo sayang ama jae in...di tunggu sinopsis lainnya...semangat...😊

jujur aku ga mau sung mo sama ji soo. aku pengen sung mo sama aku ajah. sini...sini... omo... sung mo oppa


EmoticonEmoticon