Abyss
Episode 2 Part 1
"Ini aku. Cha Min."
Se Yeon terperangah. Dia tidak percaya pria di depannya adalah Cha Min. "Kamu gila? Kamu tampak normal, tapi kamu bicara omong kosong. Kamu Cha Min? Kamu? Dengan wajah ini?" Se Yeon hendak pergi. Tapi dia terhenti mendengar Min menyebut semua mantan pacar Se Yeon.
"Kamu menolakku untuk mengencani mereka. Huh! Apalagi yang harus ku katakan? Saat orangtuamu membuka kedai, aku makan lima ayam goreng sendirian dan akhirnya...."
"Kamu,,,, sebenarnya siapa?" Se Yeon masih tidak percaya.
"Aku hidup kembali karena ini, dan ku gunakan padamu. Tidak ku sangka berhasil."
Se YEon ternganga. "Aku tidak paham ada apa ini. Aku tidak paham maksudmu sama sekali. Baiklah. Anggap saja aku percaya. Bagaimana kamu menjadi tampan dan aku menjadi seperti ini?"
"Ini bukan perbuatanku. Kamu juga membaca aturannya." Min menunjukkan abyss lagi. "Tertulis menghidupkan seseorang sesuai bentuk jiwanya." Se Yeon mengambil bola abyss dan memperhatikannya. Min melepas mantelnya dan memakaikannya pada Se Yeon. "Aku tahu ini tampak gila. Tapi kamu tidak punya penjelasan lain untuk situasi ini kan? Sama saja bagiku. Mungkin berlebihan tapi ini benar. Ayo keringkan pakaian kita dan..."
Se Yeon menyela. "Kamu benar! Ini tidak masuk. Aku tidak bisa menjelaskan ini. Jadi, akan ku cari tahu sendiri." Se Yeon melangkah pergi. Dia tidak memperdulikan penggilan Min.
Ji Wook dan det. Park baru keluar dari rumah duka.
"Aku akan ke kantor jaksa setelah dari pemakaman," ujar Ji Wook. "Kamu, detektif Park?"
"Aku juga akan ke sana, tapi Cha Min di temukan. Ku rasa itu prioritasku."
"Baik kalau begitu."
"Sampai jumpa."
Ji Wook berjalan menunju mobilnya di parkiran. Hari masih saja hujan. Tiba-tiba Se Yeon menghampirinya.
"Kamu pergi ke pemakamanku kan? Biar aku menyetir."
"Mi Do. Bukankah seharusnya kamu di New York?" tanya Ji Wook heran. (Berarti bener yang pakai kacamata di foto dan yang ketemu Cha Min di bandara itu Mi Do)
Se Yeon mengambil kunci mobil dari kantong baju Ji Wook. "Masuklah."
"Apa yang kamu lakukan?"
"Ini aku Ko Se Yeon. Mungkin tidak ada yang sadar, tapi seharusnya kamu tahu. Tidak ada waktu. Harus kesana sebelum di kubur."
Ji Wook meraih tangan Se Yeon untuk menghentikannya. "Hingga sunbae katakan ada apa."
Se Yeon menatap tangannya yang di pegang Ji Wook. Seketika dia teringat kejadian malam itu. Saat itu dia baru saja minum di dapur. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Dia di seret. Kedua tangannya di ikat ke atas dan wajahnya di tutupi dengan kain hitam.
"Kamu tidak menyangka akan mati, kan? Aku juga tidak menyangka akan membunuhmu," ucap si pembunuh. Kumis dan jenggotnya tampak memutih. Entah asli atau hanya untuk penyamaran.
Se Yeon syok mengingat itu semua. Dia kehilangan kesadarannya dan hampir saja terjatuh. Beruntung Min datang saat itu dan segera menangkapnya. "Se Yeon! Se Yeon bangun!"
Tentu saja Ji Wook keheranan mendengar panggilan Min kepada orang yang dia anggap sebagai Mi Do.
"Se Yeon-a! Se Yeon-a! Tolong buka matamu Se Yeon-a!"
Beberapa saat kemudian, Se Yeon sudah di bawa ke rumah sakit. Min menghampiri dokter untuk menanyakan kondisi Se Yeon yang belum juga bangun padahal sebelumnya dokter bilang tidak ada masalah dengan Se Yeon.
"Tolong periksa dia lagi! Dia.... dia tidak seperti manusia lain. Maksudku..." Min jelas bingung mau bagaimana menjelaskannya. "Bagaimana ya? Dia sangat istimewa. Jadi tolong periksa dia lagi."
Sepertinya dokter sedikit kesal. "Aku melakukan segala macam tes karena kamu terus mendesakku. Tidak ada apapu. Dia hanya tidur lelap. Dia hanya tidur pulas, ya. Bersabarlah."
Dokter meninggalkan Min yang sangat mencemaskan Se Yeon. Min sendiri akhirnya menghampiri tempat Se Yeon di rawat.
Dua orang perawat menggosipkan Min tampan dan perhatian. Katanya orang matipun akan bangun untuk wajah itu.
"Benar. Bagaimana gadis itu bisa sangat beruntung? Dia biasa saja. Bagaimana bisa dia mendapat pacar seperti itu?" (Helloooow! Park Bo Young cakep kaleee)
"Kamu dengar dia tadi? 'Dia sangat istimewa'. Uratnya hampir pecah. Daebak! Itu yang ku sebut seksehhh."
Se Yeon membuka matanya. Min langsung antusias. "Se Yeon-a. Kamu baik-baik saja?"
"Tunggu. Dimana ini?"
"Di rumah sakit tentu saja. Kamu baik-baik saja?"
"Ya. Tidak! Pemakamanku."
Di pemakaman, peti mati Se Yeon sedang di uruk dengan tanah. Ayah Se Yeon menyerakan skopnya pada Ji Wook untuk bergantian. Ibu Se Yeon belum juga berhenti menangis. Ji Wook berhenti sebentar. Dia sepertinya memikirkan kejadian di samping mobilnya tadi.
Pak Park melakukan penghormatan pada mendiang istrinya di rumah. Dia meletakkan cutter di meja persembahan tepat di depan foto mendiang putrinya, Park Mi Jin.. Pak Park tersenyum. "Kini semua berakhir." Mata Pak Park berkaca-kaca. "Tunggu aku Yeobo!"
Pak Park mengambil seragam sekolah putrinya yang masih bernoda darah. Dia menangis dan memeluk seragam itu.
Ji Wook kembali ke kantor jaksa. Dia tampak lelah. Seorang pegawai perempuan memanggilnya. Dia menyerahkan sebuah kotak berwarna biru langit. "Pacarmu sering mengirim hadiah belakangan ini."
Ji Wook menatap pegawai itu. "Kamu mau pulang kan?"
"Ya benar. Sampai jumpa."
Ji Wook menatap kotak di tangannya. Setelah di dalam kantor, Ji Wook membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat selembar kertas. Ji Wook membacanya.
Se Yeon tidak mempedulikan larangan Min agar tidak pergi ke pemakaman karena tidak akan mengubah apapun. "Pemakaman sudah usai."
"Bagaimana bisa ku relakan saat aku masih hidup? Semuanya pasti kacau. Orangtuaku pasti sangat berduka sekarang." Se Yeon melenggang pergi.
Ji Wook membongkar kuburan Se Yeon. Dia membuka peti mati Se Yeon dengan linggis. Ji Wook terkejut melihat peti matinya kosong.
Se Yeon dan Min mendatangi makam Se Yeon yang sudah rapi kembali. Se Yeon menatap nisannya. 'Disini terbaring jiwa cantik yang hidup seperti bunga sakura'.
"Ini yang terbaik. Mereka tidak akan percaya jika kamu datang begini. Mereka bisa sedih saat tahu jasadmu hilang. Bagus jika,,,"
"Hei!"
"Ya."
"Berikan yang kita bawa."
Min mengambil botol soju dari kantong hitam yang dia bawa. Se Yeon menyiramkan soju itu ke makamnya. Dia menghapus airmatanya. "Tunggu saja! Aku akan cari pembunuhmu. Akan ku cari dia dan membalas perbuatannya."
***
"Bagaimana dengan keberadaan Cha Min?" tanya Ji Wook pada det. Park.
"Kartu kreditnya di pakai di beberapa tempat. Tapi tidak ada dirinya di kamera pengawas. Jujur saja ini aneh. Jumlahnya juga terlalu kecil untuk di curi. Kami memikirkan kemungkinkan ada kaki tangan," jelas det. Park.
"Baiklah. Apa semua bukti sudah dikumpulkan dari rumah Jaksa Go?"
Det. Park mengiyakan.
"Berarti kamu bisa bantu bersihkan TKP?"
"Hari in?"
"Orangtuanya, terutama ibunya sedang sangat rapuh. Tkp sudah di proses oleh laboratorium kriminal. Jadi tidak ada gunanya dibiarkan. Mereka akan sedih, jadi kurasa kita harus membantu."
Det. Park menghela nafas. "Kurasa kamu benar. Biar kuminta petugas lain membantuku membersihkannya. Satu hal lagi, kini Anda bertanggung jawab atas kasus Eomsan-dong? Mengenai tersangka, Jaksa Ko...."
"Mana yang lebih mendesak? Kasus peti es jangka panjang atau kasus pembunuhan Jaksa Ko?"
"Jika dibandingkan, menurutku pembunuhan Eomsan-dong...."
Ji Wook menyela. "Ada waktu emas dalam penyelidikan. Kita harus fokus pada kasus yang paling baru. Kita tidak boleh kehilangan tersangka saat tahu siapa dia." (Kok Ji Wook kesannya pengen biar kasus Eomsan-dong nggak diungkap lagi ya)
"Benar. Saya mengerti Pak."
Se Yeon dan Min datang ke rumah Se Yeon. Se Yeon menyuruh Min memakai kantong kresek yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk menutupi alas kaki mereka.
"Kamu ingin melihatnya sendiri huh? Agak aneh untuk datang dan melihat tempatmu dibunuh." Min tidak sanggup masuk ke kamar Se Yeon. Dia berbalik dan memegangi kepalanya.
"Jika terus mengoceh pergi saja!"
Min memutuskan untuk tetap berada di luar kamar Se Yeon. Se Yeon masuk sendirian. Dia melihat darah yang berceceran di kamarnya. Dia ngeri saat ingat bagaimana dia tusuk dengan sebilah pisau (bukan cutter ya) hingga darahnya muncrat kemana-mana."
Min masuk perlahan-lahan namun dengan badan membelakangi posisi Se Yeon saat di bunuh. Se Yeon menemukan kartu nama miliknya yang bercecer di lantai. Tiba-tiba dua detektif masuk dan menyuruh Min dan Se Yeon pergi karena mereka tidak diperbolehkan kesana.
Min mengiyakan dan menarik secuil baju Se Yeon. Se Yeon tetap bergeming.
"Apa tim forensik memeriksa di sini?" tanya Se Yeon.
"Kamu dari kantor?"
"Aku Ko Se Yeon.... aku kerabat Jaksa Ko Se Yeon.
"Benar. Dia sepupu dari pihak ibu."
"Ah jadi kamu mendapat kabar. Kami hanya datang untuk membantu."
Se Yeon dan Min saling pandang.
Min dan Se Yeon makan di restoran 'Sup Pereda Pengar Yangyang'. Tapi Min sepertinya tidak nafsu makan. Sementara Se Yeon sangat terlihat sangat menikmati makanannya.
"Hei! Kenapa tidak makan? Kamu tidak suka sup darah?" (Woekkkk)
"Bagaimana bisa kamu makan? Wah! Kamu bisa lebih aneh?"
"Tidak begitu. Seperti katamu, aku terlahir kembali. Seharusnya aku bisa bertahan tanpa makan atau berkekuatan super. Kalau tidak, seharusnya aku tidak terkalahkan, atau setidaknya berdarah biru. Tapi aku lapar di jam makan, ke kamar mandi lalu lapar lagi. Aku sama seperti manusia biasa," gerutu Se Yeon panjang lebar.
"Kamu tampak tidak biasa bagiku."
"Aish! Lagipula, lihat tubuh jelek ini. Tidak ada yang ku suka. Astaga!" Se Yeon kaget sendiri saat melihat bayangannya di jendela kaca. "Aish! Aku benar-benar tidak terbiasa dengan wajah ini. Tapi kenapa tampak tidak asing."
"Wajahmu umum sekarang," komentar Min. "Fiturmu dahulu mudah di ingat. Tapi sekarang... kamu tampak biasa. Rasanya aku juga pernah melihatnya." Se Yeon menatap Min tajam. "Sisi baiknya, bagus menjadi biasa..."
"Kamu mau mati?"
"Terima saja! Seperti inilah jiwamu."
"Terima saja? Bagaimana bisa ku terima saat aku hidup kembali seperti ini? Bagaimana aku bisa hidup dengan tubuh mengerikan?"
"Hah! Sebagai mantan makhluk mengerikan, aku kesal mendengarmu mengatakannya. Kamu hidup kembali seperti ini karena pandanganmu yang dangkal soal hidup. Apa salahnya dengan wajahmu? Kamu tidak glamor lagi, tapi jika di lihat baik-baik..."
"Apa? Di lihat baik-baik? Wah! Aku tidak percaya sampai pada titik dimana kamu menilai penampilanku. Hei Cha Min! Bukan wajahku yang harus dilihat baik-baik untuk mengetahui nilainya. Orang mengenali kecantikanku walau dari jauh. Soal penampilan, aku jauh di atas. Membicarakannya lebih mengusikku."
Cha Min dari tadi memperhatikan tingkah Se Yeon yang masih saja sombong. "Hei! Jiwamu pasti kekanak-kanakkan. Kamu tidak secantik dahulu, tapi kamu tampak lebih muda," ujar Min lalu tertawa.
"Apa ini lucu? Ini lucu bagimu?" Se Yeon mengambi dompet Min. "Ayo bicara soal jiwa! Kita mulai!" Se Yeon menunjukkan ktp Min. "Kamu tampak 30 tahun lebih muda sekarang. Berarti seberapa kekanak-kanakkan jiwamu?"
Min merebut ktp-nya dan memasukkannya lagi ke dompet. "Maksudku kita harus tetap positif." Min mengapit pipi Se Yeon dengan kedua telapak tangannya. "Se Yeon-a. Kita di beri kesempatan kedua. Jadi bijaklah! Lihat saja jiwa tampanku."
"Huh! Menurutku ini omong kosong." Se Yeon beranjak dari duduknya lalu menyambar koran di meja sebelah. "Kamu tersangka pembunuhan." Se Yeon melenggang pergi.
"Aku tidak membunuhmu."
Min dan Se Yeon berjalan sambil ngobrol. Se Yeon penasaran kenapa Min bisa dijadikan tersangka.
"Menurutmu ini omong kosong kan?"
Se Yeon mendongak menatap Min. Dia sampai mengitari Min.
"Kenapa menatapku begitu?"
"Tidak ada yang dendam padaku melebihi dirimu. Aku ragu ada orang lain dengan motif lebih dalam."
"Hei! Lalu kenapa aku menghidupkanmu kembali?"
"Siapa tahu pikiran psikopat."
"Dasar!"
Mereka pergi ke kafe. Se Yeon memesan es americano. Min menggeleng. Se Yeon menatap Min,
"Aku tidak apa."
"Tolong bayarkan! Aku baru bangkit. Bagaimana membayar?"
Min tertawa sinis. "Wah! Kamu tidak punya malu ya?" Min merogoh sakunya. "Dia jelas Ko Se Yeon. Aku tahu dari perilakunya. Aku pesan dua seloki espresso," ucap Min pada kasir.
Se Yeon melotot saat Min menyodorkan kartu kreditnya. Dia buru-buru menarik Min. "Tunggu! Lo tuh tersangka utama!"
"Tersangka tidak boleh minum kopi?" Min masih belum paham juga.
"Dasar bod*h! Bagaimana bisa mereka mencurigai orang bod*h?"
"Aku bukan pembunuh. Aku tidak bersalah."
Se Yeon geregetan. Dia sampai menggeram. "Huh! Diam saja dan ikuti aku!" Sebelum keluar kafe, Se Yeon minta maaf pada mbak kasir. Min ikutan bilang maaf.
"Hei! Anggap saja kamu beruntung karena bertemu denganku. Kenapa pakai kartumu? Kamu kan sedang kabur. Kamu sudah gila?" oceh Se Yeon lalu memukul kepala Min dengan kartu kredit Min.
"Ah aku mengerti sekarang. Karena itu detektif datang kemanapun aku pergi."
Se Yeon merebut dompet Min. "Tunjukkan uangmu. Hanya ini?"
"Siapa yang membawa uang tunai jaman sekarang?"
Se Yeon tersenyum misterius setelah menatap sesuatu di tubuh Min. "Min. Untung kamu kaya, dan aku pernah jadi jaksa. Ikuti aku!"
Se Yeon menyeret Min ke pegadaian. Dia melepas paksa jam tangan Min lalu memberikannya pada petugas. Dia juga memberikan dompet kulit Min setelah sebelumnya membersihkan isinya terlebih dahulu. Petugas pegadaian memberikan segepok uang. Se Yeon tidak terima.
"Anda bercanda? Aku tahu harga semuanya. Jangan diturunkan! Sedikit lagi!" Petugas itu terpaksa menambah uangnya lagi. Se Yeon menunjuk sandal di dalam. "Berapa itu?"
"3000 won."
"Berikan itu." Se Yeon melempar sandal itu di depan Min. Dia meminta Min melepas sepatunya. Dengan amat terpaksa Min menuruti kemauan Se Yeon. Sepatu Min pun ikut digadaikan.
Se Yeon mengajak Min ke stasiun Seoul. Mereka mendatangi tempat para tunawisma. Se Yeon menghampiri salah seorang tunawisma lalu berbisik padanya. "Aku bukan orang gila. Aku jaksa, tapi saat ini dalam masalah." Se Yeon menyelipkan amplop ke tangan bapak itu. Katanya dia akan ngasih 100.000 won padanya. "Bisa tolong bantu aku?"
Tunawisma tadi membawa Min dan Se Yeon pergi IRI Comunication untuk mendapatkan ponsel ilegal alias tidak terdaftar sepertinya. Mumpung ada di tukang hp, Min minta orang dari IRI untuk memperbaiki ponselnya yang rusak. Tapi Se Yeon malah buru-buru menariknya pergi. "Berhenti main-main!"
Bersambung ke Abyss episode 2 part 2
EmoticonEmoticon