Abyss Episode 2 Part 2

Abyss
Episode 2 Part 2
Sumber konten dan gambar : TVN



Min dan Se Yeon keluar dari tempat jualan ponsel. Se Yeon memberikan satu ponsel untuk Min.

"Jadikan nomor cepat," pinta Min.

"Nomor cepat? Siapa yang menyetel itu sekarang? Dia hidup tahun berapa?" gumam Se Yeon.


Pak Park sedang mencuci taksinya malam-malam. Dia mengguyurnya sampai mengenai seorang pria yang sedang berjalan. Pak Park langsung meminta maaf.

"Sedang apa kamu? SIapa yang mencuci mobil tengah malam? Apa-apaan. ini!"

"Maafkan aku."

Seorang pengantar paket mengantarkan sebuah amplop untuk Pak Park Gi Nam (kita panggil Pak Gi Nam aja ya biar nggak samaan sama det. Park). (Canggih guys tanda tangannya langsung di ponselnya pak pos). Begitu pak pos pergi, Pak Gi Nam langsung membuka paketnya. Pak Gi Nam tampak terkejut. Amplop tadi berisi secarik kertas dengan tulisan entah apa dan sebuah sampel darah.

"Dia masih hidup?"


"Kita sudah selesai. Kita sudah dapat uang. Ayo kita makan!" ajak Min. "Ada restoran daging sapi...."

"Daging sapi?" Se Yeon menyela. "Kita buronan tanpa uang atau tujuan. Kita makan yang sederhana saja."

"Tapi aku belum makan seharian," keluh Min sambil memegangi perutnya.

"Seharusnya kamu habiskan sup darah sapi itu. Ayo! Aku tahu tempat kita bisa makan gratis. Ikuti aku!"


Ternyata Se Yeon mengajak Min belanja makanan cepat saji di mini market. Min mengeluh kalau dia lebih suka makanan sungguhan daripada makanan instan yang Se Yeon beli.

"Harganya sama dengan di restoran," ujar Min.

"Hei! Kamu mau minum somaek untuk merayakan kita hidup kembali?"

Min cuma bisa ternganga melihat tingkah tengilnya Se Yeon. Se Yeon mengambil sebotol soju (atau somaek mungkin) dan dua kaleng minuman di chiller. Mereka lalu membawanya ke kasir. Tapi saat di scan, ternyata makanan instan yang tadi di ambil Se Yon sudah kadaluarsa.

"Anda mau yang lain?" tanya si kasir.

Se Yeon pura-pura marah. "Kamu tahu memajang produk seperti ini melanggar undang-undang sanitasi makanan?"

"Apa?" si kasir bingung.

"Aku tahu kamu sudah membayar denda untuk pelanggaran beberapa bulan lalu. Bukankah terlalu dini untuk tertangkap lagi?"

"Oh aku tidak sengaja. Aku lupa mengeluarkannya dari rak. Bisa biarkan saja? Bosku akan memecatku karena ini," ucap kasir ketakutan.

"Dipecat? Tidak bisa begitu. Aku tidak akan mati karena makanannya kadaluarsa beberapa jam lalu. Aku tidak akan mempermasalahkan."

"Sungguh? Terimakasih."

"Tetap saja. "Memberi dan menerima' adalah peraturan dasar kehidupan. Karena sudah ku biarkan, akan bagus jika aku mendapat balasannya."


Min memegang keningnya, baru menyadari akal bulus Se Yeon.

Se Yeon membuka boto soju lalu menuangkannya ke gelas dan mencampurnya dengan minuman dari kaleng (soda mungkin). Dia lalu meminumnya. Min hanya memperhatikannya. "Astaga! Ini enak. Kita bisa makan di sini sementara, benar?" tanya Se Yeon


"Wah! Kamu hebat sekali. Sungguh! Ayo kita minum bersama." Min menyodorkan minuman kalengnya mengajak bersulang.

Se Yeon mengaku kalau dia tahu toko itu sering menjual makanan kadaluarsa. Mereka terkenal sering membiarkannya di rak. Saat orang mabuk mengambilnya tanpa sadar sudah kadaluarsa. Mereka menerima uangnya tanpa dimasukkan ke kas.

"Kamu tidak kasian pada pegawai muda itu?"

"Kamu tidak pikirkan masalahmu sendiri? Karena itu kamu ku beri deopbap tuna mayones dan tumis bab*.  Makanlah!"

"Tidak. Kamu saja! Kamu jaksa tapi melanggar hukum seakan tidak ada artinya."

"Makin dekat dengan hukum makin sering melanggar. Lagipula aku akan melakukannya untuk kepentinganku. Hingga ku tangkap bedebah pembunuhku, kita harus hidup seadanya. Kita harus hidup seperti hantu. Apa ada pilihan lain?"


Min menenggak minumannya. Matanya tampak menerawang. "Di malam kamu dibunuh, aku membeli obat pengar di sini. Andai aku tidak membelinya dan terus menunggu di depan rumahmu. Tidak. Andai aku masuk, kamu tidak akan di bunuh. Maafkan aku, Se Yeon-a."

"Augh! Kamu membuatku risi. Hei! KIta hidup kembali, jadi berhenti bersikap dingin. Tetap saja, aku tidak menyalahkanmu. Aku akan memintamu bawakan... Sebentar. Apa kamera itu merekam ke sini?" tanya Se Yeon saat melihat kamera cctv di minimarket.


Beberapa saat kemudian, Min dan Se Yeon sudah duduk di depan monitor yang memantau kamera cctv di temani si kasir.

"Katamu kamu di sini sekitar pukul 23.30 kan?"

"Ya. Bagaimana ini bisa membantu kita?"

"Rumahku ada di ujung jalan. Dan jalannya buntu. Jika pria yang datang ke rumahku bukan warga, dia pasti melewati toko kelontong lagi."

Eh! Tiba-tiba di dalam rekaman, si kasir memutar kameranya ke dalam toko. Se Yeon langsung protes kenapa dia merekam bagian di dalam toko. Si kasir menjelaskan kalau memang seharusnya merekam bagian dalam. Tapi karena bosnya selalu mengawasinya, jadi dia alihkan sementara. "Bosku akan segera datang. Tolong pergi!"

Bos minimarket datang. Si kasir menyuruh Min dan Se Yeon bersembunyi. Si bos sempat marah-marah pada kasir karena tidak rapi dalam menyusun produk. Setelah bos pergi, Se Yeon yang sudah akan pergi bertanya apa bosnya juga memeriksa minimarket pada malam itu. Kasir membenarkan. Bosnya datang sebentar untuk ngomel. Si kasir kesal karena bosnya selalu parkir terbalik. Jadi dia selalu kebagian membersihkan tembok yang terkena percikan kotoran dari ban mobil. Se Yeon meminta nomor telepon si bos.


Di kediaman keluarga Cha Min yang buesaaar buangeetttt. Nyonya Eom marah-marah pada Pak Kim perihal Min yang jadi tersangka pembunuhan. Dia menyuruh Pak Kim untuk mengerahkan semua tenaga untuk membereskan masalah ini.

"Entah Min membunuhnya atau tidak, tidak penting saat ini. Kita harus cari Min dulu tidak peduli apa yang terjadi." (Dia nggak percaya sama anaknya sendiri?)

"Baik Bu. Aku mengerti."

Nyonya Eom memukul meja. "Jika mengerti kenapa masih disini?" bentak Nyonya Eom.

Bibi tampak menguping dari luar. Dia lalu masuk ke kamar entah siapa dan mengambil bungkusan baju Min yang berdarah dari bawah ranjang. "Min. Dimana kamu? Apa yang kamu lakukan?"


Selanjutnya, Min dan Se Yeon berjalan kaki ke restoran ayam goreng milik keluarga Se Yeon. Se Yeon memencet kode pintu dan mereka masuk. Min tampak menggaruk-garuk badannya.

"Kenapa? Ada masalah?"

Min menggulung celananya dan menggaruki kakinya. "Apa ada yang menggigitku di toko?"

Se Yeon melihat bercak-bercak merah di leher Min. "Tampaknya reaksi alergi. Kan aku yang makan semua kotak bekal. Kamu hanya minum dan makan kacang. Kamu alergi kacang?"

"Tidak! Aku tidak punya alergi. Mungkin aku alergi seiring dengan wajah baru."

"Aneh kamu tiba-tiba punya alergi." Se Yeon mencari obat alergi di dalam restoran."


Min sangat terkejut mendengar suara burung dari jam dinding. Dia sampai ketakutan memegangi pundak Se Yeon. Padahal jam itu Min yang belikan saat keluarga Se Yeon baru buka restoran.

"Tapi kenapa dengan burungnya? Kenapa berhenti."

"Katamu pembuatnya master dari swiss. Pembohong! Kamu tidak mau lepaskan!"

"Maaf. Aku tidak bermaksud. Aku sungguh terkejut."

"Aku tahu kamu. Selama 20 tahun, kamu mencoba mendapatkanku tiap ada kesempatan. Aku paham. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Salahku mengajakmu kesini. Sudah larut dan kita ada di ruangan tertutup. Hanya ada kita berdua di ruang sempit ini. Aku paham jantungmu pasti berdebar. Tapi jangan pikir ini...."

"Hei Se Yeon. Berat bagiku untuk terbiasa dengan ini. Kamu pasti lupa."


Min menarik Se Yeon lalu menghadapkannya ke cermin. "Jantungku tidak berdebar karena kamu bukan tipeku lagi." Min memutar balik badan Se Yeon menghadapnya. "Aku sangat mengenalmu. Penampilan sangat penting bagimu. Karena itu kamu terus menolakku. Tapi, dengan wajahku sekarang, bukan kah aku yang perlu cemas bukan sebaliknya?"

Se Yeon mendorong kepala Min. "Minggir! Benar-benar! Kamu menyebalkan."


Min dan Se Yeon tiduran di sofa dengan tisu toilet sebagai bantal. Min sudah tertidur sementara Se Yeon sedih menatap foto dirinya dan orangtuanya saat kelulusan.

Min ternyata belum tidur. Dia melihat Se Yeon sebentar. "Tidurlah! Katanya kamu lelah."

"Ibuku selalu memastikan ada bunga segar di vas bunga. Dia berkata, jika bunganya layu, dia juga sedih seperti bunga itu." Se Yeon meneteskan airmatanya. "Ayo tidur saja. Butuh tenaga untuk menangkap bedebah itu." Se Yeon memejamkan matanya.

"Kenapa kamu tidak menangis saja?"

"Kenapa harus? Hanya membuang airmata saja. Aku belum.menangis. tidak bisa."


"Iya iya. Tentu saja." Min membelai rambut Se Yeon. "Se Yeon. Kamu sungguh berani, tangguh dan paling kuat di dunia ini. Cantik dan pandai. Paling cantik... benar sekarang tidak."

"Kamu mau mati?"

"Biar ku coba lagi. Kamu yang tercantik di kehidupan sebelumnya. Kamu yang terseksi di kehidupan yang sebelumnya. Sebelumnya...."

"Berhenti sebelum ku hajar."

"Pukulanmu lebih cepat dari kata-katamu. Kamu kejam dikehidupan yang sebelumnya."

Se Yeon bangun dan menggeplak kepala Min. Min tidak mau berhenti. Dia malah mengatakan semua keburukan Se Yeon sambil ngerap. Mereka tidak menyadari bunga di vas yang tadinya layu, kini mekar kembali berkat kekuatan abyss yang tergeletak di meja.

***

Pak Gi Nam duduk di depan altar persembahan untuk istrinya sampai pagi. Dia mengingat kejadian malam itu.


Seorang pria tampak keluar dari taksi Pak Gi Nam. Pak Gi Nam ikut turun dan membuntuti pria tadi. Dia menembakkan tembakan paku (kurang tahu sih. Kaya pistol tapi yang di tembakin kayaknya paku bukan peluru). Pria tadi tersungkur ke tanah. Pak Nam mengeluarkan cutternya. Dia menusuk kaki pria tadi.

"Putriku yang polos dibunuh. Park Mi Jin. Lamu kenal dia kan?"

Pria tadi mengangguk.

"Sama seperti putriku, kamu harus merasakan tiap penderitaannya.

(Omo! Berarti yang waktu itu bukan tukang kardus bekas tapi pembunuh. Dan tanpa sengaja Min malah membuat pembunuh itu hidup kembali)


Pak Gi Nam menatap kertas dan sampel darah. "Kamu kira sudah usai? Belum." Pak Nam lalu mengambil cutter dan alat tembaknya.


Min dan Se Yeon duduk di bangku pinggir jalan sambil makan kimbab segitiga.

"Apa ini makanan kita mulai sekarang?"

"Kenapa? Ada masalah?"

Min meletakkan kimbabnya yang baru dia makan satu gigitan. "Ah! Aku sudah bosan. Kamu berselera. Makanlah!"

"Ku bunuh kamu kalau nanti mengeluh lapar."

"Bolehkah aku minta 10.000 won?"

"Apa? 10.000 won? Buat apa?"

"Aku perlu membeli sesuatu. Tunggu, kenapa aku harus memohon uang darimu? Kalau dipikir itu uangku."

"Argh! Benar-benar menyebalkan."

Se Yeon mengambil uang dari dalam amplop. "Hematlah!" Min langsung ngacir.

"Dia dengan mudah mendapatkan uang. Jadi dia tidak menghargai uang," gerutu Se Yeon. Dia makan kimbabnya lagi dengan lahap.


Ayah dan Ibu Se Yeon masuk ke restoran. Ibu Se Yeon tertegun melihat bunganya yang mekar. Dia keluar melihat sekeliling. Min yang melihatnya tersenyum. Se Yeon menghubunginya menyuruhnya cepat balik.


Min menghampiri Se Yeon yang menunggunya di minimarket. Se Yeon menuduhnya habis makan enak sendirian. Min mendorong dagu Se Yeon.

"Kamu seperti orang lain. Aku tidak terbiasa dengan wajah itu. Berhenti mendekat!"

"Aku juga tidak terbiasa dengan wajahmu. Dia tampan tanpa alasan," gerutu Se Yeon.

Mobil bos minimarket datang. Dia bertanya siapa mereka. "Kenapa kalian ingin bertemu?"


Beberapa saat kemudian, Min dan Se Yeon sudah nangkring di warnet untuk memeriksa rekaman blackbox mobil si bos. Tadi Se Yeon berlagak jadi jaksa dengan menyodorkan kartu namanya pada bos (beneran jaksa ding). Mereka melihat taksi Pak Gi Nam lewat di depan minimarket.

Bersambung ke Abyss episode 2 part 3

2 komentar

min... kurir kita juga begitu sekarang. tandatangan di hp. pos indonesia minggu lalu kirim barang juga pake hp tandatangannya. hehehe..


EmoticonEmoticon