He is Psychometric
Episode 2 Part 3
Sumber konten dan gambar : TVN
Baca HIS episode 2 part 2
Jae In tertegun saat Lee An tiba-tiba menyebut angka '3145' yang notabene sama dengan nomor baju ayahnya, Yoon Tae Ha. Jae In menarik Lee An dan bertanya siapa Lee An sebenarnya.
"Apa?" Tanya Lee An bingung.
"Tadi kamu bilang 3145."
Lee An pura-pura heran. "Kamu mengigau? Aku tidak bilang apa-apa."
Lee An melepas cengkeraman Jae In dan bilang kalau dia lapar. "Sampai jumpa."
Lee An pergi meninggalkan Jae In yang masih saja tertegun. Seperti biasa, Lee An keluar dengan melompati tembok. Begitu menapakkan kakinya di tanah, dia langsung memukul mulutnya sendiri karena keceplosan. Tapi, dia sendiri bertanya-tanya kenapa Jae In begitu sensitive dengan angka-angka itu.
Di dalam penjara, teman satu sel Pak Yoon bertanya tentang pembebasan bersyaratnya. Pak Yoon diam saja sambil menatap foto Jae In. Mungkin pembebasan bersyaratnya di tolak. Menurut temannya, masih terlalu awal membebaskan Pak Yoon karena baru di penjara selama 11 tahun. (11 tahun? Baru? Gila lu ndro!). Oh iya, Pak Yoon ini di pilih untuk jadi model napi. Ada ya ternyata.
***
Jae In pulang membawa rasa penasarannya. Dia yakin tadi Lee An benar-benar mengatakan '3145'.
"Darimana dia tahu?" Gumam Jae In pada dirinya sendiri.
Tampak seseorang mengikutinya dari belakang. Jae In langsung mengeluarkan stun gun-nya karena teringat si pengintip. Dia mempercepat langkahnya sampai tidak menyadari fotonya (nggak tahu foto apa) terjatuh.
Jae In akhirnya menengok karena orang itu terus bicara 'permisi' dan mengikutinya. Ternyata itu Sung Mo.
"Apa kamu Yoon Jae In?"
"Anda mengenalku?"
"Mungkin."
"Siapa Anda?" Tanya Jae In takut-takut.
Sung Mo mendekat. Jae In mundur.
"Kamu bilang ingin bertemu denganku."
"Apa? Siapa Anda?"
Sung Mo melihat stun gun yang di pegang Jae In. "Itu.... aku dengar dari Pak Pendeta katanya kamu ingin bertemu denganku."
Jae In seketika sadar kalau orang di depannya adalah si pelindung. Tapi dia malah tidak sengaja menyalakan stun gun-nya hingga membuat Sung Mo tertawa kecil.
Mereka akhirnya ngobrol sambil minum di dalam mini market.
"Apa aku membuatmu kaget?"
"Ya. Aku tidak mengira Anda masih begitu muda."
"Sebenarnya aku tinggal di seberang atap apartemen." (Kenapa ya di drama korea suka banget pada tinggal di rooftop)
"Aku juga tidak begitu kaya," aku Sung Mo.
"Tapi Anda mengirimi uang sebagai dukungan. Aku akan memastikan untuk membayar Anda kembali."
"Aku memintamu membayar dengan cara lain."
"Apa itu?"
"Aku ingin melihatmu bahagia."
Krik krik krik
"Ah. Aku lebih suka membayarmu dengan uang," ujar Jae In sambil tertawa canggung.
"Terserah kamu saja."
"Tapi, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Sung Mo langsung tersedak. Jae In mengambilkannya tisu.
"Bukankah itu kalimat yang biasa di ucapkan untuk memberi umpan?"
"Apa? Tidak. Aku yakin pernah melihat Anda sebelumnya." Jae In berusaha mengingat-ingat. Dia terkejut saat menyadari kalau Sung Mo adalah jaksa utama dalam kasus pembakaran rumah perawatan.
Jae In tersenyum senang. "Aku melihat Anda di berita."
"Lalu?"
"Ya?"
"Aku melihat Anda di TV. Anda begitu tampan tapi saat di lihat langsung Anda ternyata lebih tampan. Biasanya alurnya seperti itu."
Krik krik krik candaan Sung Mo garing. Mereka minum untuk meredakan kecanggungan.
"Itu seharusnya menjadi lelucon," gumam Sung Mo. (Ya udah aku aja yang ketawa. HAHAHA)
Sung Mo bilang segala sesuatu bisa dipelajari dari buku kecuali lelucon.
Lee An sedang mandi sambil bersiul. Dia lalu tertawa sendiri, bangga akan kemampuannya.
Selesai mandi, Lee An langsung curhat pada Dae Bong kalau dia yakin seorang wanita yang menyelinap ke ruang guru. Lee An duduk dengan ramen cup dan majalah dewasa di depannya. Ponselnya dia letakkan di atas majalah itu.
"Apa dia cantik?" Tanya Dae Bong.
"Kamu tahu kan aku biasanya tidak melihat hal yang penting. Aku tidak melihat wajahnya. Tapi tingginya rata-rata. Ukuran tubuhnya 36, 24, 35." (Bisa tahu ya si Lee An. Bawa meteran apa dia? Haha)
"Wah itu bukan ukuran umum untuk gadis di sekolah kita.
Lee An membuka cup ramennya.
Lee An bercerita kalau Jae In sudah mencari anak dengan kenaikan nilai signifikan. Haruskah Lee An membiarkannya menggonggong pada pohon yang salah? Dae Bong menyarankan agar Lee An katakan saja pada Jae In apa yamg dia lihat.
Lee An menyuapkan ramen ke mulutnya.
"Nanti dia akan berpikir aku gila."
Dae Bong berkomentar kalau kemampuan Lee An sudah berkembang karena dia bisa mencontek semua jawaban anak di depannya.
Lee An menumpahkan ramennya.
Lee An bilang tingginya bertambah 10 cm musim dingin lalu. "Sung Mo bilang kemampuan psikometriku sebanding dengan pertumbuhan fisikku."
"Apa artinya?" (Menurut ku, maksud Sung Mo kemampuan psikometri Lee An cuma berkembang sedikiiiit)
Sung Mo pulang bersamaan dengan Jae In yang sampai di rooftop. Jae In memberi hormat pada Sung Mo dari jauh sebelum masuk rumah. Sung Mo memandangi rumah Jae In.
Lee An keluar membuang sampah ramennya.
"Hyung. Sedang apa kamu di sini?"
Sung Mo tersenyum lalu menyodorkan kepalan tangannya.
"Baca!"
Lee An menyentuh kepalan tangan Sung Mo dengan kepalan tangannya lalu memejamkan matanya untuk berkonsentrasi.
"Aishh. Ini masih misteri. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Dari semua orang yang ku kenal, dindingmu yang paling tebal."
"Ini berarti kamu masih butuh banyak latihan. Tidak tidak. Menurutku kakak tidak punya noradrenalin."
"Apa?"
"Kakak tidak ingat?"
11 tahun lalu.
Lee An duduk menangis di sebuah gang dengan badan basah kuyup seperti habis disiram susu. Sung Mo datang membawa handuk lalu mengelap wajah Lee An.
"Tenanglah. Orang-orang akan memandang rendah dan semakin menggertakmu kalau kamu menangis."
"Hyung. Mereka memanggilku monster. Merekalah monster sebenarnya. Mereka melakukan berbagai macam hal buruk. Aku melihatnya."
"Kenapa kamu terus bilang kalau kamu melihatnya?"
"Apa kakak juga berpikir kalau aku bohong?"
"Tidak. Aku percaya padamu. Bukan karena mereka atau kamu monster. Itu karena noradrenalin.
"Nor apa?"
Kali ini mereka sudah pindah duduk di gereja. Sung Mo membuka sebuah halaman buku biologi. Dia menjelaskan kalau noradrenalin di otak mengubah emosi buruk menjadi kenangan. Itu sebabnya orang-orang mengingat hal buruk lebih lama dari pada hal baik. Bukan karena manusia yang jahat atau monster.
"Kenangan buruk hanya bertahan lebih lama. Dan itulah yang kamu lihat."
"Kenapa aku melihat itu? Aku tidak mau."
"Kurasa itu hal baik jika kamu melihatnya. Aku akan makan lebih banyak kimbap saat orang lain tidak tahu. Tapi tidak kalau kamu tahu."
Akhirnya Lee An bisa tersenyum. "Benarkah? Tapi aku tidak bisa melihat ingatanmu."
"Itulah sebabnya kita adalah rekan yang sempurna."
"Kakak tidak merasa kesal saat aku menyentuhmu?"
"Tidak."
Mereka lalu tos kepalan tangan.
Kembali ke masa kini.
Sung Mo tidak menyangka akan datang waktu dimana Lee An mengembalikan kata-katanya.
"Inikah perasaan orangtua yang bangga?""
Lee An langsung menirukan kalimat yang biasa diucapkan orangtua. "Aku membesarkanmu sambil memastikan kamu tidak berbuat salah."
"Kau!!" Sung Mo melingkarkan tangannya di leher Lee An seolah-olah akan mencekiknya. Saat itulah tiba-tiba Lee An mendapat penglihatan.
"Yeoja!"
Sung Mo menarik tangannya. "Apa?"
"Yeoja! Woah. Ini pertama kalinya aku melihat ingatanmu. Aku melihat seorang wanita."
"Jangan asal menebak!"
"Benar!!"
Lee An langsung meraba-raba dada Sung Mo berharap bisa melihat sebuah visi. Lalu mendekatkan telinganya ke jantung Sung Mo.
"Lepaskan aku!" Sung Mo mendorong Lee An sambil tertawa geli.
"Aku yakin melihat sesuatu sebelumnya."
Jae In baru selesai mandi. Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk dan tiba-tiba teringat Sung Mo. "Dia seorang jaksa."
Jae In membuka jendelanya dan melihat ke rooftop di seberangnya selama beberapa detik, lalu menutup jendelanya kembali.
Pagi-pagi, sebelum jam matematika di mulai, Jae In menginterogasi murid yang mendapat peringkat satu.
"Kamu menuduhku sebagai pelakunya?"
"Tidak. Aku menjadikanmu saksi referensial."
So Hyun tampak memperhatikan mereka dari bangkunya.
"Karena kamu sudah sejauh ini, aku akan memberimu petunjuk sebagai hadiah. Kamu baru disini satu hari, jadi kamu tidak tahu. Tapi akulah satu-satunya yang bisa memperbaiki masalah ini. Sampai kamu bergabung dengan kami (anak-anak yang punya nilai tinggi)"
"Apa maksudmu? Semua anak yang merasa benar (yang dapat nilai tinggi) mereka semua pelakunya?"
"Katamu kamu akan dikeluarkan kalau tidak bisa menangkap pelakunya? Kegagalanmu malah menguntungkanku."
Sementara Jae In masih dibuat bingung dengan murid nomor satu, Lee An tampak memasang gembok pintu suatu ruangan dan mengganjal pintu dengan alat pel.
Menurut Lee An, pelakunya adalah seorang murid wanita yang memiliki pena merah muda dan menyimpan rokok di dalam tempat pensil kuning. Skenarionya adalah, Lee An akan menyalakan alarm kebakaran. Nanti mereka akan bertemu lagi di sana. Dae Bong tidak setuju. Tapi menurut Lee An itu adalah jalan satu-satunya karena pelajaran matematika akan dimulai 30 menit lagi dan tidak mungkin dia melakukan psikometri satu-satu pada murid perempuan. Lee An pun menekan tombol alarm. Dia lalu bersiap di pintu keluar.
Lee An merentangkan kedua tangannya bersiap menghadang ingatan-ingatan para gadis. Para murid berbondong-bondong lari keluar dan keheranan melihat tingkah Lee An. Otak Lee An mulai ditabrak ratusan macam ingatan tidak hanya dari para gadis tapi juga jejaka (HAHA).
Ingatan-ingatan itu silih berganti di dalam ruang kepala Lee An hingga Lee An tidak sanggup lagi menampungnya. Lee An mimisan dan terjungkal ke belakang sampai berguling beberapa kali di tangga. Beberapa anak bahkan melompatinya.
"Huh! Aku tidak bisa bernafas," keluh Lee An.
Dae Bong sendiri malah pergi menghampiri So Hyun di kelas.
"So Hyun! Jangan pedulikan alarmnya. Lee An yang menekannya."
So Hyun tidak mendengarkannya. Dia malah memperhatikan Jae In yang sedang sibuk membuat analisa. So Hyun menghampiri Jae In lalu mengajaknya bicara.
Anak-anak kembali ke kelas setelah tahu kalau tidak ada kebakaran. Sementara Lee An masih merintih dan terbaring di lantai.
"Bangunlah bod*h!!" Ucap guru matematika.
"Usap hidungmu bod*h!!" Ucap wali kelas, Bu Syahrini.
Dan yang datang terakhir adalah pak guru gendut.
Lee An berdiri dan mengelap hidungnya. "Ouch! Aku hampir saja mati!"
"Kamu melakukannya lagi?" (Pak guru gendut ternyata tahu kemampuan Lee An)
"Apa semua gadis sudah keluar? Aneh!"
"Kamu yang paling aneh dari semua anak di sini."
Pak guru gendut hendak pergi tapi Lee An menahannya. "Ah ya. Rokoknya. Anda tahu siapa itu? Gadis yang menyimpan rokok dalam kantung kuning."
"Apa?"
So Hyun mengajak Jae In ke halaman belakang sekolah. So Hyun duduk sementara Jae In tetap berdiri.
"Aku sibuk. Ada apa?"
"Kamu seperti ayahmu. Tidak bisa tahan terhadap ketidakadilan."
Jae In jadi tidak sabar. "Kamu mau mengatakan apa?"
"Kenapa kamu terlibat?"
"Apa?"
"Aku punya sebuah rahasia. Aku hanya akan memberitahumu. Tapi terserah mau kamu simpan atau tidak. Lagipula aku berhutang sesuatu padamu."
***
"Apa maksudmu? Tanya Pak guru gendut. "Aku tidak tahu semua anak yang merokok."
"Tapi Anda meminta rokok pada semua perokok."
Pak guru gendut buru-buru membungkam mulut Lee An dengan tangannya. Saat itulah Lee An mendapat penglihatan.
Seorang murid wanita tampak akan merokok. Tapi dia mengurungkannya dan meremas rokoknya. Dia lalu menatap sesuatu berwarna merah muda (kaya testpack). Tiba-tiba terdengar suara guru gendut dari belakang.
"Hei! Bisakah kamu memberiku sebatang rokok?"
Pak Guru gendut melepaskan tangannya tepat saat gadis itu menengok. Lee An tampak tertegun.
"Itu bukan pena. Anda juga tahu. Siapa gadis itu?"
Bersambung ke He is Psychometric episode 2 part 4
EmoticonEmoticon