Pob Ruk
Sumber konten dan gambar : Channel 3
Baca Pob Ruk episode 1/2
Popetorn menatap fotonya bersama Naam. Dia meletakkan bingkai foto itu ke meja lalu menelepon seseorang dengan ponselnya.
"Apa semuanya baik-baik saja? Terimakasih banyak."
Setelah itu P'Torn menelepon melalui telepon kantornya. "Tangani itu secepatnya. Aku ingin Rinthara Resort dibuka sebelum akhir tahun."
P'Torn menutup telepon. Dia menatap fotonya sekali lagi lalu menangkupkan bingkai foto itu. Wajahnya terlihat dingin. (Jangan-jangan dia yang sengaja mencelakai Naam)
P'Torn pulang ke apartemennya. Dia melihat sudah ada makanan di meja. Tiba-tiba Nubdao datang menghampirinya.
"Aku dengar cuaca hari ini akan mendung. Jadi aku membuatkanmu makan malam."
"Maafkan aku. Tapi aku tidak lapar."
"Kenapa wajahmu terlihat tidak senang?"
"Banyak hal yang aku pikirkan."
"Seseorang yang akan menikah memang selalu seperti itu. Jangan khawatir P'Torn. Aku kan sekretarismu, aku tidak ingin kamu stres. Percaya padaku, apapun yang akan terjadi, semuanya akan baik-baik saja."
P'Torn tersenyum sangat tipis. (Mereka berdua mencurigakan deh)
Yeo baru mau pulang dari tkp. Selesai memakai helmnya, dia tiba-tiba melihat sebuah kalung di tanah. Kalungnya Naam. Yeo lalu mengantonginya.
Si sersan teman Yeo sedang bersama neneknya Yeo dan empat orang lainnya di sebuah tempat. Mereka sedang melakukan semacam cara untuk mendapatkan nomor lotre. Jadi mereka semua jongkok di depan batu(?) besar yang memanjang. Sedangkan grandma yang tidak bisa melihat (buta) mengusap-ngusapkan bedak pada batu. Jika berhasil, nanti akan muncul angka di sana. Wkwkwk
"Apa sudah kelihatan?" tanya sersan.
"Kenapa kamu tanya? Aku saja masih bingung bagaimana melakukannya. Kenapa harus aku sih?" gerutu nenek.
"Lagian kalau nenek nggak mau nenek bisa bisa bantu apa? Aku mau tanya, emangnya nenek bisa melihat?" Kelakar si sersan. Nenek sontak memukul kepalanya.
"Mieeee. Harusnya yang melakukan ini kamu sama Yeo. Kalian kan punya sifat yang sama. Sama-sama terlalu banyak bicara."
Mie (akhirnya tahu namanya sersan) tertawa. "Aku kan cuma bercanda Nek. Sebenarnya menurut metode yang benar, katanya harus orang buta yang melakukannya."
"Benarkah? Apa ini sudah tepat?" tanya nenek sambil terus mengusap-usap batu.
Tiba-tiba ada suara guguk melolong. Seorang wanita berponi di antara mereka terlihat ketakutan. "Kenapa kita harus melakukan ini di belakang kuil sih?"
Sersan menjelaskan kalau minggu lalu mereka berhasil menebak dua angka terakhir dengan benar gara-gara melakukannya di belakang kuil itu.
Setelah beberapa saat, guguk itu berhenti melolong.
Seorang pria yang pipinya bernoda tepung (atau bedak?) terlihat agak ketakutan.
"Oi. Tiba-tiba para guguk berhenti menggonggong. Pasti ada hantu yang menyuruh mereka berhenti."
"Aku pukul mulutmu," ujar Mie membuat temannya menutup mulutnya.
"Apa sudah keluar?" tanya nenek.
"Ada satu," jawab sersan Mie.
"Nomor berapa itu?" tanya nenek lagi.
Tidak ada yang menjawab. Lalu tampak seekor cicak besar jatuh dari atas. Semuanya melotot.
"Wow. Ada satu lagi nenek."
"Benarkah? Berapa nomornya?"
Satu lagi cicak jatuh.
"Wah! Besar sekali."
"Besar besar! Jadi berapa angkanya?"
"Ada satu lagi nenek!"
Jatuh lagi cicak yang lebih kecil.
"Itu bahkan bukan angka. Tapi cicak, Nek!"
Mereka akhirnya lari terbirit-birit ketakutan meninggalkan nenek sendirian. Nenek kelabakan mencari jalan untuk kabur. Sersan balik lagi menuntun nenek lari.
Setelah merasa aman, mereka semua berhenti dengan nafas terengah-engah. (Yaelah cuma cicak kok takut).
"Aku mau tanya satu hal. Memangnya nenek tadi lihat cicaknya?" tanya sersan.
"Nggak."
Terus kenapa grandma lari?" tanya si pipi bedak.
"Lalu kenapa kalian semua lari? Kalian pada lari makanya aku ikut lari."
Tiba-tiba terdengar lolongan guguk. Semua jadi ketakutan lagi.
"Ngapain sih dia menggonggong lagi!" gerutu si pipi bedak.
"Ngapain juga dia ngikutin kita?" celoteh Mie.
"Tunggu tungggu," ucap grandma. Dia terlihat mendengus membaui sesuatu. "Aku mencium bau sesuatu. Bau bunga melati. Aku tidak tahu yang lainnya, tapi aku yakin itu bau melati."
Semuanya ikut-ikutan membaui. "Dari mana baunya nenek?"
Nenek menunjuk ke arah kanannya. Semua menengok ke sana. Terlihat bayangan di dinding sebuah rumah. Mereka semua berteriak.
"Apa itu? Hantu? Apa itu? Apa itu? Aaaaa." (Kocak melihat ekspresi mereka. Bikin aku ketawa. Padahal mah cuma bayangan pohon)
Semuanya kabur dan lagi-lagi meninggalkan nenek yang kontan kebingungan. "Mati aku! Kemana aku harus pergi?"
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyentuhnya. Nenek sontak ketakutan. Dia berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya. "Hantu hantu hantu. Tolong pergi. Apapun yang kamu lakukan, aku tidak bisa melihatnya. Aku buta jadi tolong pergi.
Ternyata itu tangan Yeo. "Ini aku nenek. Aku belum mati."
Nenek sangat senang. "Yeo?"
"Khap."
"Terimakasih nak. Mereka semua kabur mencampakkan nenek."
"Awww."
"Kita baru saja mencari nomor untuk beli lotre."
Yeo tertawa. "Iya aku tahu kok. Oke sekarang kita pulang. Aku punya bunga untuk nenek." Yeo menunjukkan sekantong bunga melati.
"Oh. Pantesan nenek tadi mencium bau melati. Aku ini punya penciuman yang tajam. Mereka pikir itu hantu."
Mereka pun pulang. Yeo menuntun langkah nenek. Saat sampai di jembatan menuju rumah mereka, nenek berjalan mendahului Yeo.
"Oh sekarang nenek sudah tidak mau menungguku?"
"Ini kan di rumahku sendiri. Aku bisa berjalan dengan menutup mataku."
"Iya ya. Tidak ada bedanya nenek tutup mata atau buka mata."
"Dasar anak nakal!"
"Iya maaf deh. Aku cuma bercanda. Nenek kan punya sesuatu yang lebih baik daripada orang normal."
Yeo berjalan di depan. Nenek mengambil kerikil lalu melemparnya tepat ke kepala Yeo. Nenek tertawa.
"Aduh sakit." Yeo mengusap-usap kepalanya.
"Lihat. Walaupun aku buta tapi aku bisa menarget dengan tepat."
Nenek seperti mencium sesuatu. "Siapa yang datang bersamamu? Kenapa kamu tidak cerita?"
Yeo terlihat bingung.
"Walaupun aku tidak bisa melihat, tapi aku tahu. Kamu membawa seorang wanita kan?"
Yeo kebingungan dan celingukan kesana kemari. Tapi dia tidak melihat siapapun.
Yeo mempersilahkan nenek masuk duluan. Begitu masuk nenek langsung mengambil botol minuman dan sebuah gelas.
"Mau aku bantu?" tanya Yeo.
"Tidak usah. Ini untuk teman wanitamu."
"Siapa yang nenek maksud?"
"Sudahlah. Aku tahu apa yang kamu lakukan. Membawa perempuan ke rumah seperti ini, tidak perlu malu. Aku bisa mencium parfumnya."
Nenek meletakkan gelas di meja. "Jangan malu-malu. Minumlah. Trus jangan melakukan 'sesuatu' terlalu cepat. Kamu kan perempuan. Itu akan terlihat buruk untukmu."
Yeo garuk-garuk kepala. Walau yang dia tahu tidak ada siapapun di sana. Dia merasa malu juga dengan ucapan neneknya.
"Nenek pergi dulu mau mandi."
"Mau aku bantu naik Nek?"
"Tidak usah. Aku sudah menaiki tangga ini sebelum kamu lahir. Aku bahkan bisa langsung melompat ke atas. Kamu mau melihatnya? Aku akan tunjukkan."
Yeo tertawa. "Tidak! Tidak usah. Nenek hati-hati saja jalannya."
Setelah nenek pergi, Yeo celingukan lagi. Dia bahkan menciumi jaketnya siapa tahu nenek salah sangka sama bau parfumnya. Tapi sepertinya dia sedang tidak pakai parfum. Yeo jadi bingung sendiri.
"Tunggu tunggu tunggu. Sudah cukup. Aku sangat lelah," ucap si pipi bedak pada si wanita berponi. Tak lama Sersan Mie menyusul mereka.
"Kenapa kita berlari karena sesuatu yang kita bahkan tidak tahu?" tanya wanita berponi. "Sersan. Apa nenek Nuan ada di rumah?"
"Sepertinya dia sudah di rumah. Lihatlah! Lampu rumahnya menyala. Ayo kesana! Siapa tahu Letnan Yeo ada di rumah."
"Harusnya kita tidak meninggalkan nenek tadi. Dan sekarang kita harus ke rumahnya untuk memastikan apa dia selamat," gerutu wanita berponi.
Mereka melihat Yeo keluar rumah. Wanita berponi hendak memanggilnya, tapi Mie menghentikannya.
"Tunggu. Apa kalian melihat apa yang aku lihat?"
Terlihat dedaunan di lantai seperti terseret mengikuti Yeo.
"Siapa yang mengikuti letnan di belakangnya?"
"Apa itu...."
"HANTUUUUU!!!!"
Mereka bertiga kabur lagi. Yeo yang mendengar teriakan mereka tampak keheranan.
Mie pulang ke rumahnya dan kesulitan membuka pintunya. Begitu berhasil masuk, dia langsung menenggelamkan diri di balik selimutnya. "Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu sejak aku lahir. Apa itu tadi? Dia mengikuti Letnan Yeo. Aku takut sekali."
Yeo tampak gelisah dalam tidurnya. Dia memimpikan masa kecilnya. Waktu itu dia masih sd. Dia di antar dengan sampan ke rumah neneknya. Nenek sudah menunggunya di gazebo. Dia langsung merangkul Yeo. Yeo menangis.
"Yeo kamu di sini. Nenek janji akan menjagamu dengan baik. Sekarang kita hanya berdua. Tidak perlu takut. Tidak ada yang perlu ditakuti. Tetaplah bersamaku."
Lalu terlihat sekelebat sebuah kecelakaan mobil.
Yeo kecil sedang melihat foto dirinya bersama seorang gadis kecil di kameranya. Dia bertanya pada ayahnya dimana foto itu diambil. Ayah menengok sebentar ke belakang. Tapi begitu melihat ke depan, sebuah truk besar sudah menghadangnya. Kecelakaan pun tak terelakkan.
Yeo terbangun dengan nagas terengah-engah. Dia lalu mengambil bingkai foto yang berisi foto keluarganya di meja. Dia menatap foto itu dengan sedih.
Tiba-tiba terdengar tangisan seorang wanita dari luar. Yeo berjalan ke jendela dan seseorang duduk di gazebo.
Ternyata Naam yang sedang menangis. Yeo keluar rumah dan menghampirinya. "Khun."
Naam menengokkan kepalanya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kamu menangis?"
Naam memutar duduknya menghadap Yeo. Yeo langsung mengenalinya sebagai wanita yang menerobos garis polisi.
"Kenapa kamu mengikutiku?"
"Aku tidak mengikutimu."
"Kalau begitu kenapa kamu ada di sini?"
"Aku tidak tahu."
"Apa?"
"Aku tiba-tiba muncul di sini tanpa tahu apapun."
Yeo keheranan.
"Kamu polisi kan? Kamu harus menolongku."
"Bagaimana? Kamu mau aku membawamu ke rumah?"
"Ya. Tolong bawa aku ke rumahmu. Sejak sore tadi aku minta tolong pada orang-orang. Tapi tak seorangpun yang mau menolong. Mereka semua tidak melihatku. Aku tidak tahu apa yang salah."
"Dimana rumahmu?"
Naam diam saja. Yeo mengulangi pertanyaannya.
"Aku tidak ingat," jawab Naam.
"Oh. Terus siapa namamu?"
"Aku tidak tahu."
Yeo jelas heran mendengarnya.
"Aduh! Tambah lagi kerjaanku," gerutu Yeo.
Naam meminta Yeo membantunya menemukan rumah dan namanya.
"Aku tidak punya siapapun selain kamu. Aku ingin pulang."
Naam menangis. Yeo melihatnya dengan iba.
Sementara di rumah Naam, Thara terlihat cemas karena Naam tidak bisa di hubungi. P'Torn datang bersama Nubdao. P'Torn bilang sudah mencari kemana-mana tapi tidak menemukan Naam. Sedangkan Nubdao sudah menghubungi polisi kenalannya untuk membantu mencari Naam.
"Apa mungkin dia kecelakaan?"
"Tidak mungkin Bi. Tidak ada berita soal kecelakaan mobil," ujar Nubdao.
"Terus kenapa dia menghilang? Pernikahannya sebentar lagi. Seharusnya dia tidak keluyuran," keluh Thara.
P'Torn menceritakan kejadian sore tadi saat dia video call dengan Naam. Thara sangat khawatir. Nubdao berusaha menenangkannya dengan berkata kalau apapun yang terjadi dia akan menemukan Naam dan membawanya kembali karena Naam adalah sahabat baiknya.
Akhirnya Yeo membawa Naam ke rumah. Naam duduk di kursi dan menangis lagi. Yeo memintanya jangan menangis. Tapi tangis Naam malah semakin keras.
"Siapa aku? Kenapa aku tidak ingat apapun?"
"Jangan nangis keras-keras. Nanti nenekku bangun. Bisa-bisa dia salah paham mengira aku membawamu untuk berhubungan yang tidak-tidak."
"Terus aku harus bagaimana? Aku tidak ingat siapa aku. Aku juga tidak ingat kenapa aku datang ke sini."
Yeo menyuruhnya tenang dan mengontrol emosinya. Dengan begitu mungkin Naam bisa mengingat sesuatu.
Yeo berjalan ke pantry mengambil air putih untuk Naam. Naam melihat foto Yeo dan neneknya.
"Kamu tinggal bersama nenekmu?"
"Ya."
"Rumah ini sangat kotor. Bagaimana kamu bisa tinggal di sini?"
"Eh?"
"Benar kan? Ada sarang laba-laba dan debu di mana-mana. Cucu macam apa yang bahkan tidak tahu tanggung jawab untuk membantu neneknya membersihkan rumah."
Yeo menuangkan minuman untuk Naam dan menyuruhnya meminumnya supaya Naam tenang. Kalau Naam sudah ingat siapa dirinya, Yeo akan mengantarnya pulang.
Tapi saat Naam hendak mengambil gelas, tangannya menembus gelas itu. Naam sontak shock. Dia menutup mulutnya saking terkejutnya lalu menatap kedua tangannya. Yeo keheranan melihatnya.
Naam ingin menunjukkannya pada Yeo. Yeo melotot saking kagetnya. Dia sampai mengucek-ngucek matanya seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Yeo meminta Naam mengambil gelas sekali lagi. Dan hal yang sama pun terjadi.
Kali ini Yeo sampai tersentak ke belakang. Sementara Naam menangis menyadari kemungkinan apa yang terjadi padanya. Tangisnya tambah keras saat dia melihat cermin di depannya dan tidak mendapati bayangan dirinya di sana.
"Tidak! Ini tidak benar!!" Kata Naam sambil geleng-geleng kepala.
Yeo penasaran dengan apa yang di lihat Naam. Pelan-pelan dia mendekat dan melihat ke cermin. Matanya melotot dan mulutnya menganga.
Yeo buru-buru kembali ke kursinya. Dia bahkan menaikkan kedua kakinya ku kursi. Yeo menunjuk Naam seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tenggorokannya seolah kering hingga dia kesulitan bicara. Dengan susah payah dan tergagap-gagap, akhirnya Yeo berhasil mengeluarkan sebuah kalimat.
"Kamu... bukan... manusia!!"
Naam berusaha menyangkal. "Tidak benar. Itu tidak benar!"
Bersambung ke Pob Ruk episode 1 part 3
4 komentar
Hihihihi lucu....lanjuuuttt
lanjut lanjut... seru������
Lanjutt ya kak
Suka bangets
EmoticonEmoticon