He is Psychometric Episode 3 Part 3 (Drama Korea)

He is Psychometric
Episode 3 Part 3


Sumber konten dan gambar : TVN

Baca HIS episode 3 part 2


Dae Bong main ke rumah Lee An dan membuat ramen disana. Lee An meletakkan kertas formulir untuk di jadikan alas panci. Mereka makan ramen berdua di tambah lauk kimchi. Sluuurrrrpppp

Dae Bong bercerita kalau ayahnya menyuruhnya menulis Universitas Nasional Seoul di formulir.

"Haruskah aku tulis sekolah kepolisian?" Tanya Lee An.

Dae Bong setuju. Apalagi dengan kemampuan Lee An, dia pasti dapat nilai yang tinggi. "Ayahmu dulu polisi. Jadi itu sempurna. Kamu bisa memecahkan kasus bersama Jaksa Kang dan Ji Soo noonim."

"Aku ragu hyung akan senang. Dia akan tahu kalau aku curang dalam ujian."


"Belajarlah dengan giat."

Lee An tertawal lalu memukuli Dae Bong. "Aku bisa belajar dengan mudah."

"Itu sakit."

Mereka itu ngobrol sambil ngunyah ramen.

"Dae Bong. Kamu benar-benar tidak mau kuliah?"

"Saat keluargaku punya delapan pom bensin kenapa aku harus belajar di universitas? Menurumu kenapa aku tidak pernah lari saat ayahku memukulku?"

"Aku iri dengan sendok minyakmu."


Sung Mo mencoba menghubungi Pak Kim tapi nomornya tidak aktif. Padahal dia dan Ji Soo sudah menunggunya lama. Tak lama kemudian Ji Soo mendapatkan telepon.

"Ada apa?" Tanya Sung Mo.

Ji Soo cerita malau teman Lee An hampir di siram dengan asam klorida.

"Mungkin itu hanya kejahatan percobaan. Jadi pelakunya pasti sudah di bebaskan," ujar Sung Mo.

Ji Soo mengangguk. "Murid yang hampir menjadi korban adalah Yoon Jae In."


Seketika Sung Mo langsung berdiri karena terkejut.

"Dia kan? Gadis yang kamu sebutkan itu. Gadis yang kamu ingin dia bertemu Lee An?"

"Dimana dia sekarang?"


Jae In terkejut saat Ji Soo datang bersama Sung Mo ke mini market. Mereka lalu duduk bertiga. Ji Soo memberitahu Jae In kalau guru matik dibebaskan dengan peringatan karena itu pelanggaran pertamanya. Kalaupun Jae In mengajukan tuntutan paling-paling guru matik diselidiki tapi tanpa ditahan. Ji Soo meminta Jae In berhati-hati.

"Apa kata orang tuamu?"

"Mereka sudah meninggal."

"Benarkah? Lalu apa kamu punya wali?"

"Aku yang akan jadi walinya untuk sementara," kata Sung Mo.

"Kamu tidak mungkin. Kamu terlalu sibuk jadi tidak akan bisa melindunginya. Itu tidak akan berhasil," ujar Ji Soo.

"Jangan khawatir. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Melihat kalian datang dan mengkhawatirkanku lalu menjelaskan secara langsung itu membuatku sangat bersyukur."

Ji Soo tiba-tiba berdiri dan memukul meja. "Bagaimana kamu bisa mengatasinya sendiri saat usiamu baru 19 tahun?"

"Detektif Eun," panggil Sung Mo mengingatkan Ji Soo.


"Maaf. Ini membuatku frustasi," ujar Ji Soo lalu mengacak-ngacak rambutnya seolah-olah dia sangat stress. "Aku tidak suka situasi seperti ini. Orang yang dibebaskan lalu membunuh seorang wanita."

Sung Mo menambahkan. "Jika aku benar, dia bisa saja membunuh seluruh keluarga."

Jae In jadi ketakutan. "Apa dia bertindak seekstrim itu?"

"Kamu tidak akan pernah bisa terlalu berhati-hati. Bagaimana ini?" Ji Soo tambah menakut-nakuti. "Ah! Ini pasti bisa!"


Ji Soo menelepon Lee An yang sedang tiduran nyaman di tempat tidurnya.

"Apa?"

"Jadilah pengawalnya untuk sementara waktu."

"Kenapa aku?"

"Hei. Dia sekelas denganmu dan tinggal di sebelah. Dan kamu kenal wajah guru itu. Haruskah aku memberi alasan lain?"

Jae In bilang Ji Soo tidak perlu melakukan hal itu. Ji Soo tidak mempedulikannya.

"Setujulah selagi aku masih bicara baik-baik," ancam Ji Soo kepada Lee An. Dia lalu menutupi mulutnya dan berbisik pada Lee An,"Kalau kamu mau menyelinap ke ruang otopsi lagi." Ji Soo menutup teleponnya.


"Aku mendengar semuanya," kata Sung Mo.

Jae In masih berusaha menolak tapi Ji Soo memaksanya. "Kamu bisa mengganggu An sebanyak yang kamu mau. Lagipula dia tidak belajar."

"Dia itu adikku. Apa kamu tidak perlu meminta ijinku?" Protes Sung Mo.

"Lebih tepatnya, kamu teman serumahnya. Dia juga adikku dan kita tidak ada apa-apa."


Teman Jae In yang akan berganti shift dengannya datang. Sung Mo menawarkan untuk mengantar Jae In pulang. Sepertinya Ji Soo sedikit cemburu. Dan Jae In melihat itu.

***

Jae In pulang naik mobil Sung Mo. Sung Mo bertanya berapa banyak pekerjaan paruh waktu yang diambil Jae In. Jae In menjawab tiga.

Sung Mo dengar dari pendeta kalau Jae In anak yang cerdas dan bercita-cita jadi jaksa atau hakim.

"Apa itu untuk ayahmu? Supaya kamu bisa membersihkan nama ayahmu?"

"Apa?" Tanya Jae In terkejut.

"Haruskah pura-pura tidak tahu soal itu? Jika kamu mau aku bisa ganti topik."

"Ya. Bisakah Anda melakukannya?"


Sung Mo jadi bingung mau ngomong apa. Akhirnya Jae In yang bertanya apa Ji Soo itu pacar Sung Mo.

"Dia itu kolega dan teman."

"Kurasa dia luar biasa," komentar Jae In.

"Dia tidak punya filter verbal. Dia lugas dan tegas."

Mereka sampai di depan pintu masuk menuju rumah Jae In. Jae In berterima kasih karena Sung Mo masih mau membantunya walaupun sudah tahu semua tentangnya.

"Menurutmu ayahmu adalah pelaku pembakaran?"


Belum sempat Jae In menjawab, bibi Sook Ja keluar rumah. Dia terkejut melihat Sung Mo. Dia heboh memuji Sung Mo yang katanya lebih ganteng aslinya daripada di tv. Dia berterimakasih karena Sung Mo sudah jadi pelindungnya Jae Un. Jae In segera menariknya masuk walaupun bibinya enggan dan malah menawari Sung Mo masuk untuk minum kopi. Sung Mo hanya bisa tersenyum canggung. Sebelum masuk rumah, Jae In berjanji akan mengundang Sung Mo makan malam.


Entah kenapa, kamera menyorot poster yang tertempel di tembok depan.

Jae In dan Sung Mo sampai di rooftop hampir bersamaan. Sebelum masuk rumah, Jae In membungkuk pada Sung Mo.


Sung Mo terus memandangi rumah Jae In. Terlihat guguk putih Lee An mengendus-endus sesuatu. Dia lalu mendapatkan telepon dari kepolisian Gangwong mengenai saksi Kim Gab Yong. Sung Mo segera melajukan mobilnya menuju tempat dimana Pak Kim ditemukan tidak bernyawa. Di sana sudah ada Ji Soo yang tiba lebih dulu.


Tubuh Pak Kim duduk bersandar pada pilar. Ada rantai yang terpasang di kakinya yang terluka. Sung Mo menduga kalau Pak Kim dibunuh saat akan menemuinya.

Ji Soo berpendapat kalau rantai yang mengikat sebelah kaki Pak Kim terasa aneh karena rantainya tidak terkait kemanapun.

"Untuk apa rantai itu? Seolah-olah seseorang ingin kita melihat rantai ini."

"Ini adalah tantangan dari pelakunya," ujar Sung Mo.


Jae In hendak berangkat sekolah. Lee An sudah nampang di depan poster.

"Kamu sungguh mau melindungiku?"


Lee An tidak menjawab. Dia memilih jalan lebih dulu. Jae In mengulum senyumnya. Tapi setelah itu dia memasang wajah juteknya lagi.

Seperti biasa mereka naik bus. Kali ini mereka dapat tempat duduk. Lee An duduk di depan Jae In.

Lee An menguap dengan mulut tertutup lalu menggaruk kepalanya hingga rambut belakangnya berantakan.


Jae In tersenyum melihatnya dan berniat merapikannya. Tapi tentu saja tidak jadi. Gengsi dong.


Sung Mo buru-buru keluar dari mobilya begitu sampai di kantor. Ji Soo menyusul di belakangnya dan berlari mengejarnya.

Sung Mo mengambil kotak berisi berkas-berkas di ruangannya lalu mengacak-mengacaknya untuk mencari sesuatu. Ji Soo hanya keheranan melihatnya.


Sung Mo menemukan apa yang dia cari. Foto luka tusuk korban kebakaran di rumah perawatan Hanmin. Dia bilang dia harus memulai dari awal lagi.

"Song Hee Jung bukan pelakunya. Orang lain yang melakukannya."

"Siapa?" Tanya Ji Soo.

"Orang yang membunuh Kim Gab Yong."

"Siapa itu?"

Sung Mo mengambil berkas kasus pembakaran di apartemen Yoengsoeng lalu meletakkannya di atas meja.

Ji Soo tertegun melihatnya.


"Pelaku pembakaran rumah perawatan Hanmin terlibat dalam kebakaran di apartemen Yoengsoeng? Kamu pasti tahu sesuatu. Iya kan?"


Jae In sedang belajar untuk ujian SAT (ujian masuk universitas). Duo tengil datang merecokinya. Mereka membahas baju Jae In.

"Ini seragam dari SMA Suhyun kan?"

"Apa?"

Mereka bilang tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan. Dan lagi ayah Jae In bukan calon kepala daerah kan? Kenapa Jae In sering pindah-pindah? Jae In kesal sampai mematahkan pensilnya. Dia berdiri dan menyuruh mereka pergi. Merekapun pergi setelah sebelumnya mengancam akan mencari tahu semuanya.


Lee An dan Dae Bong memperhatikan kejadian itu dari tadi.

Jae In mulai membayangkan teman-teman sekelasnya mencela dan menghina dia dan ayahnya. Mengumpat, mengutuk, menyumpahi. Dia juga teringat saat teman-temannya membullynya.


Terlintas juga di memorinya kata-kata Sung Mo mengenai dia yang ingin jadi jaksa demi ayahnya. Lalu pertanyaan bibinya tentang bagaimana jika ayahnya memang pembunuh. Semua itu membuat Jae In kalut. Dia pergi keluar dari kelas.

Lee An yang sedari tadi terus memperhatikannya terlihat khawatir lalu mengikutinya.


Jae In berlari ke rooftop dengan nafas yang mulai sesak. Sesampainya di rooftop dia langsung membuka kantung kertas yang selalu di bawanya untuk membantunya bernafas.

"Apa kamu tidak apa-apa," tanya Lee An khawatir. Jae In memberi tanda dengan tangannya agar Lee An tidak mendekat.

Beberapa saat kemudian Jae In sudah terlihat tenang. Dia berdiri sambil menatap ke bawah gedung. Lee An berdiri agak jauh darinya.


"Ini hyperpnea. Ini terjadi saat jumlah karbondioksida menurun karena terlalu banyak mengambil nafas karena cemas."

"Apa menghirup kantong kertas itu membantu?"

Jae In mengangguk. "Aku menghirup karbondioksida kembali dengan cara ini." (Oh. Aku tadinya bingung soalnya aku pikir Jae In sesak karena kurang oksigen lah kok malah ditutup kantong kertas. Ternyata kekurangan CO2 toh)

"Aku tidak yakin aku mengert. Tapi aku tahu itu bukan hal yang baik. Apa ini sering terjadi?"

"Kadang-kadang saat aku stress."

"Kamu selalu membawa kantong itu bersamamu. Itu berarti tidak kadang-kadang."

Jae In tersenyum miris. "Aku biasanya bertingkah sepanjang waktu. Tapi sebenarnya hatiku rapuh." Jae In menghela nafas. Dia berharap bisa bertahan sampai ujian SAT.

Menurut Lee An, masuk universitas bukan obat untuk itu.

"Setidaknya, aku membutuhkan satu hal untuk melindungiku karena aku tidak punya orang tua atau uang. Aku sudah sampai sejauh ini dengan menjadi yang terbaik dikelasku. Tapi jika orang tahu aku hanya gadis miskin yang tinggal di rumah atap, aku akan ditinggalkan tanpa baju besi untuk melindungiku. Aku bahkan tidak akan bisa berdiri. Itu pasti terdengar konyol untukmu."


"Tidak. Aku merasakan hal yang sama. Aku tidak punya orang tua atau uang. Satu-satunya hal yang harus aku lindungi adalah kemampuan menghebohkan ini," ujar Lee An sambil menatap tangannya.

"Kamu kan punya kakak yang kompeten."

"Kakak itu meninggalkanku di panti asuhan tanpa mengatakan sepatahkata pun."

Bersambung ke He is Psychometric episode 3 part 4


EmoticonEmoticon