He is Psychometric Episode 3 Part 1 (Drama Korea)

He is Psychometric
Episode 3 Part 1


Sumber konten dan gambar : TVN

Baca HIS episode 2 part 4

10 Desember 2005, satu minggu setelah kebakaran


Lee An dan Jae In kecil duduk bersandar di trotoar. Melihat Lee An yang memegang lencana polisi ayahnya, Jae In bertanya apa ayah Lee An seorang polisi?

"Ya."

"Kalau begitu apa kamu bisa meminta ayahmu untuk membiarkan ayahku pulang? Ayahku bukan orang jahat."

Lee An tidak menjawab. Dia malah menawari Jae In permen lagi.

"Tidak. Ayo kita bicara lagi soal ayahmu dan ayahku."


Lee An menunduk sedih. "Ayahku sudah pergi."

"Apa maksudmu? Apa ayahmu pergi ke suatu tempat?"

Lee An menunjuk ke langit. Dia berkata kalau ayah, ibu, dan banyak orang lainnya meninggal dalam kebakaran di komplek apartemen.

"Aku berharap bisa menolongmu. Tapi... maafkan aku."


Lalu datang sebuah mobil dari panti asuhan. Sung Mo turun dari mobil itu lalu memanggil Lee An. Lee An segera berdiri dan mengambil kotaknya. Dia heran saat tidak lagi melihat Jae In di sana. Dia pun masuk ke mobil. Sung Mo melihat sepatu Jae In di balik pagar. Ternyata Jae In sengaja bersembunyi.


Lee An dan Jae In duduk di rooftop, entah di rumah siapa. Lee An bertanya apa maksudnya Jae In akan menjabat tangannya dan melakukan lebih agar menemukan sesuatu dengan kemampuan Lee An.

"Itu hanya seperti aku mendengar sesuatu yang mustahil jadi itu pasti yang membuatku hilang akal. Lupakan saja apa yang ku katakan!"


"Nggak apa-apa kok." Lee An menunjukkan tangannya. "Aku dapat peringkat 15 karena aku melihat lembar jawaban dengan ini. Aku juga menemukan So Hyun sebagai pelakunya."

"Bagian mana yang harus kamu sentuh dan bagaimana agar kamu bisa membacanya dengan baik?" Tanya Jae In.

"Yang paling mudah adalah tanganmu. Aku pikir itu karena bagian kulit kita yang paling sensitif ada pada ujung jari kita."

"Berarti kamu bisa membaca lebih baik ketika kamu menyentuh kulit yang sensitif? Kalau begitu, itu bisa aktif pada indra peraba?"

"Aku pikir begitu."


"Bagian tubuh yang paling sensitif terhadap sentuhan adalah bibirmu, bukan?" Tanya Jae In sambil melirik Lee An. Lee An kontan menatap Jae In.

"Jadi kamu mau kan membacaku?"


Lee An tidak menjawab. Sementara Jae In mulai mendekatkan wajahnya. Lee An sangat gugup sampai mengepalkan kedua tangannya.


Dia lalu memejamkan matanya. Jae In memegang tangan Lee An lalu menci*um bibir Lee An.

Gubrakkkkkk


Ternyata semua itu hanya ada di mimpinya Lee An semata. HAHA. Dia bangun gara-gara terjatuh dari tempat tidur bersama boneka babinya. Begitu sadar akan apa yang tadi dimimpikannya, Lee An langsung memukul-mukul bonekanya karena malu.

"Mimpi macam apa tadi? Apa kamu masih SMP? Memalukan sekali!" Lee An tengok kanan kiri. "Aku cuma sendirian tapi aku merasa malu."

Lee An sampai menutup mukanya dengan tangannya. Tapi setelah itu dia segera bangkit dan tiduran lagi di kasurnya.


"Ayo melanjutkan mimpi!" Doengggg. Lee An memonyongkan bibirnya.

***

Jae In dan bibi Sook Ja sedang sarapan. Bibi makan dengan sangat lahap, sedangkan Jae In menyuapkan nasinya sebutir demi sebutir sambil melamun. Dia teringat apa yang dia katakan semalam pada Lee An.


Ternyata saat Jae In akan keluar untuk menghampiri Lee An, bibi menghadangnya. "Mau pergi kemana malam-malam begini?" Alhasil mereka tidak jadi ketemu. Dan saat Jae In menengok ke arah Lee An, Lee An sudah tidak ada.

"Apa yang aku katakan padanya?" Gumam Jae In.

"Siapa?" Tanya bibi.

"Ah. Bukan apa-apa."

"Kamu bersikap aneh sejak kemarin. Apa sesuatu mengganggumu?"

"Bi. Bagaimana jika seseorang bisa membuat ayahku.... ah bukan apa-apa."

"Jadi ini soal ayahmu?"


"Bagaimana jika ada orang yang kamu pikir bisa membersihkan nama ayah. Apa yang akan bibi lakukan?"

Bibi Sook Ja berkata kalau ayah Jae In sudah dipenjara selama 11 tahun. Jadi apa gunanya membersihkan namanya sekarang.

"Kenapa tidak ada gunanya? Ayah bisa mengatakan kalau dia bukan pembunuh dan aku tidak akan di cap sebagai anak seorang pembun*h. Aku tidak harus melarikan diri dan hidup dengan perasaan takut kalau-kalau orang lain mengenaliku."

"Aku belum pernah mengatakan ini sebelumnya. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika ayahmu benar-benar pembakar?"


Jae In marah. "Tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang pemadam kebakaran mengatur api untuk membunuh banyak orang? Bahkan empat orang juga meninggal karena ditikam! Akankah ayah seperti itu?"

"Kamu tidak bisa tahu bagaimana sebenarnya seseorang hanya dari luarnya saja."

Jae In sudah tidak tahan lagi. "Aku mau berangkat sekolah."


Bibi Sook Ja memanggilnya. "Tidak mudah melihat apa yang sudah terjadi 10 tahun lalu. Bagaimana jika kamu hanya akan terluka lagi?"

Jae In tidak peduli.


Ternyata Lee An sudah menunggunya di bawah. Tapi Jae In langsung kabur setelah melihat Lee An.

"Reaksi apa ini? Ini sangat berbeda dengan yang kemarin. Kemarin kamu bertingkah seperti akan melakukan sesuatu padaku saat itu juga." Lee An mencoba mensejajari langkah Jae In yang berjalan cepat.


Jae In berhenti dan berbalik. Dia menatap garang Lee An. "Aku hanya terlalu bersemangat kemarin. Kamu salah paham. Aku kehilangan pikiranku kemarin. Aku gila. Jadi berpura-puralah kamu tidak mendengarku."

Jae In melanjutkan lagi langkahnya. Tapi seketika dia berhenti saat Lee An menyinggung nomor tahanan ayahnya.

"Nomor itu yang aku lihat. Apa dia dijebak? Itukah yang kamu ingin aku selidiki?"


"Tidak! Aku tidak ingin kamu menemukannya. Aku ingin seluruh dunia tidak pernah menemukannya! Kamu bilang kemampuanmu adalah rahasia yang ingin kamu jaga. Rahasiaku adalah ayahku. Jadi, ayo kita pura-pura tidak mengatakan apapun."

Lee An tertegun mendengar ucapan Jae In.


Bis datang. Lee An dan Jae In sama-sama masuk ke bis itu. Lee An berdiri di belakang Jae In.

Jae In berkata kalau ada yang lupa dia katakan. Dia minta Lee An tidak bilang pada anak-anak kalau mereka bertetangga. Khususnya jangan bilang kalau dia tinggal di rumah atap. Lee An tampak sedikit kecewa. Tapi dia tidak ambil pusing.


"Kenapa? Lagian aku tidak punya alasan untuk mengatakannya dengan sengaja. Tapi aku merasa seperti ingin membalas ketika aku disuruh untuk diam. Seperti kamu tahu. Kita masih di usia remaja."


Jae In mencibir. "Remaja? Aku benci punya kelemahan atau dipandang rendah. Jadi, kalau kamu bahkan bermimpi untuk menyentuhku atau menemukan sesuatu, aku akan membunuhmu!" (Nggak cuma mimpi nyentuh neng, tapi ci*m)


Tiba-tiba bisnya turbulensi (emangnya pesawat), maksudnya berguncang. Lee An sigap menangkap Jae In yang tangannya terlepas dari pegangan. Mereka saling melirik sebentar. Setelah itu Jae In segera menghempaskan tangan Lee An seolah takut di pegang. Padahal tangan Lee An tergantung di udara dan sama sekali tidak menyentuh Jae In.


"Aku tidak melihat apapun tanpa sentuhan fisik," jelas Lee An dengan pandangan terluka. Mungkin perlakuan Jae In mengingatkannya pada saat dulu anak-anak menganggapnya monster.

Di halte berikutnya, Lee An memutuskan untuk turun. "Aku tidak suka bisnya. Sampai jumpa nanti."


Jae In melihat Lee An dari kaca jendela. Sepertinya dia merasa tidak enak pada Lee An.

***

Sung Mo melajukan mobilnya ke kantor polisi. Begitu sampai, Ji Soo langsung naik ke mobil Sung Mo. Wajahnya tampak kesal.


"Apa yang salah?"

"Dia menghilang." Ji Soo menunjukkan jarinya, "Cincinnya."

"Kamu menghilangkan cincinmu di mobilku?"


Ji Soo menatap galak pada Sung Mo. "Serius!!! Kang Hee Suk si pengasuh."

"Aku bercanda di saat yang salah."

Mereka kemudian pergi ke apartemen studio dimana Kang Hee Suk tinggal. Tapi setelah Sung Mo beberapa kali memencet bel, tidak ada siapapun yang membukakan pintu.


Ji Soo sudah mengira ini tidak akan berguna karena dia semalaman juga sudah menunggu disana tapi tidak seorangpun yang datang.

"Apa kata pemilik apartemen?"

"Katanya dia adalah penyewa yang ideal karena membayar uang sewa tepat waktu. Tapi orang lain yang menandatangani kontraknya. Jadi dia tidak tahu Kim Hee Suk seperti apa."

"Jadi tidak ada yang menemukannya setelah kebakaran?" Tanya Sung Mo pada diri sendiri.

Ji Soo menjelaskan kalau Kim Hee Suk hidup sendirian sampai tiga tahun lalu. Dia punya peringkat kredit rendah. Dan dia mendaftar layanan perbaikan kredit secara tiba-tiba yang dia peroleh dari lisensi pengasuh dan bekerja disana. Padahal dia tidak punya kenalan. Dia juga tidak punya keluarga.

"Jadi tidak ada yang tahu apapun tentangnya. Dia seperti manusia yang tidak terlihat. Aku menunjukkan fotonya ke perawat. Dan tidak ada yang pernah melihat orang sepertinya di rumah sakit."


Ji Soo kesal sendiri dan mengeluh kalau seharusnya dia tidak meminta Lee An untuk melakukan psikometri. Jadi dia tidak perlu curiga seperti ini. Dia lalu mengajak Sung Mo untuk pergi sarapan. Dan mereka pun pergi tanpa melihat selebaran yang tergeletak di lantai yang bertuliskan, 'yukgaejang tradisional'.


Lee An sedang memilah-milah sampah. Entah itu tugas piket atau karena di hukum. Dae Bong menghampirinya dengan menenteng sapu.

"An! Kita punya masalah."

"Guru matik dipecat? Atau murid yang ketahuan menyontek akhirnya melarikan diri belajar ke luarnegeri? Hidup memang sangat mudah kalau kamu kaya," ujar Lee An.

"Bukan itu yang penting sekarang."

"Terus apa? Ayahmu memukulmu karena dia harus menyogok sekolahan biar kamu tidak dikeluarkan?"

"Setidaknya dia tidak menggunakan alat golfnya, itu sudah cukup baik. Tapi bukan itu yang benar-benar penting sekarang."

"Kalau begitu pasti So Hyun."

"Ya benar. Dia datang ke sekolah. Aku ingin tahu apa aku harus bertanya apa yang akan dia lakukan dengan bayinya?"


"Itu bukan sesuatu yang harus kamu lakukan. Dan bisakah kamu berhenti memanggilnya dengan sangat intim? Itu mengingatkanku bagaimana kamu menghianatiku."

"Aku sungguh bukan seorang penghianat."

"Aku itu bisa baca apa yang ada di kepalamu. Dan kamu masih saja menyimpan rahasia dariku. Terus aku harus bermain dengan siapa? Sia*an!" Ceritanya lagi ngambek Lee An. Dia menendang tong sampah lalu duduk. Dae Bong ikut duduk.

"Aku benar-benar membenci orang yang bermuka dua."

"Ya. Memang aku yang kejam. Ngomong-ngomong aku tidak berpikir kehidupan sekolah bagus untuk bayinya." (Nggak peka nih si Dae Bong. Padahal Lee An lagi kesel gara-gara So Hyun)

Kayak pasangan yang lagi abis berantem
Lee An menatap Dae Bong. "Cukup!"

Mereka diam sejenak. Tapi Dae Bong ngoceh lagi. "Itu akan memberi efek negatif kan?" HAHA. Lee An menatap tajam si Dae Bong.


Jae In meletakkan susu di meja So Hyun. Setelah itu dia duduk dibangkunya lalu meminum susu strawberry miliknya.

Dae Bong masuk kelas dan hendak meletakkan susu juga di meja So Hyun. Tapi dia urungkan melihat sudah ada susu dari Jae In di sana. Dia lalu duduk di bangkunya sambil mendekap susu itu.


Lee An masuk dan mencibir Dae Bong. "Kamu benar-benar sudah tidak tertolong." Dia lalu lanjut memilah sampah di kelasnya.

Geng centil masuk. Mereka mengajak Jae In pergi ke club malam ini. Mereka senang karena mendapat murid pindahan yang high class (kelas sosialnya tinggi) seperti Jae In. Jadi mereka ingin membuat pesta sambutan untuk Jae In.


"High class?"

"Ya. Ibuku dokter. Dia putri dari pemilik franchise makchang. Kakak An seorang jaksa. Dan Dae Bong anak keluarga kaya pemilik pom bensin."

Salah satu anggota geng tengil menjelaskan kalau para murid bahkan memilih temannya setelah memeriksa ukuran rumah masing-masing. (Segitunya)

Murid satunya lagi bilang kalau ayahnya yakin ayah Jae In dijamin akan terpilih.

"Aku tidak pernah bilang kalau ayahku adalah kandidat kepala daerah."

"Emangnya bukan?"

"Maaf. Tapi aku tidak seperti kalian yang ibunya dokter atau pemilik franchise makchang. Bersenang-senanglah tanpa aku."


Kedua geng tengil langsung kesal. Memangnya seberapa hebat ayah Jae In sampai dia menolak hang out bareng mereka.

Lee An yang peka dengan situasinya langsung nimbrung.


"Hei Kim Eun Soo. Oh Young Eun! Kamu tidak tahu cara mendaur ulang? Kenapa kamu membuang kaleng ini ke tempat sampah untuk plastik. Apa kalian sebod*h Dae Bong?" Dae Bong langsung nengok. Wkwkwk

Geng tengil menyangkal. Tapi Lee An bilang dia melihatnya.

"Sebaiknya kalian hati-hati. Aku akan mengawasi kalian!"

Geng tengilpun pergi dengan kesal. Jae In melirik Lee An tapi tidak bilang apa-apa.


"Hei! Berhenti tidur!" Ucap Lee An sambil menendang bangku Dae Bong.

"Aku sedang menjaga susu ini agar tetap hangat." Wkwkwk


Bersambung ke He is Psychometric episode 3 part 2




EmoticonEmoticon